Ahad 31 Jan 2021 08:07 WIB

Jejak Panjang NU Menemani Perjalanan Indonesia

Perjalanan NU menemani Indonesia

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Subarkah
Laskar Hizbullah dengan bendera tauhidnya dalam parade di Markas Besar TKR/BKR di Yogyakarta pada masa perjauangan kemerdekaan
Foto:

Dalam perjalanannya, NU bergerak menjadi sebuah ormas yang masih relevan merepresentasikan nafas pesantren. Kultur pembelajaran agama di NU menggunakan metode talaqi (sorogan) yang memang telah bertahan lama bahkan sebelum Indonesia ada. Adapun Muhammadiyah meminjam metode belajar klasikal yang digunakan Belanda yang mana menjadi perbedaan mencolok di masa awal dakwah keduanya.

Kini, Tiar menjabarkan, metode dakwah dalam pendidikan di pesantren-pesantren NU telah banyak yang mengakomodasi metode pengajaran modern. Sehingga jika dibandingkan dengan Muhammadiyah saat ini, kedua ormas ini nyaris tidak memiliki perbedaan secara metode dakwah.

“Secara pandangan fikih mungkin agak berbeda sedikit, tapi nafasnya sama. Apalagi secara tujuan dan gagasan cita-cita berbangsa beragama, semuanya sama,” kata dia.

Mengapa pendirian NU tak Dicekal Belanda?

NU didirikan pada 31 Januari 1929 Masehi atau 16 Rajab 1344 Hijriyah, di Kota Surabaya. Di wilayah timur Pulau Jawa ini, NU didirikan atas inisasi ulama besar nan karismatik, KH Hasyim Asyari. Kelahiran Nu tak lepas dari dua hadirnya dua organisasi pendahulunya yakni Nahdlatul Wathan dan Taswirul Afkar yang sama-sama berdiri di Surabaya, yang kemudian kelak mendirikan juga organisasi Nahdlatul Tujjar yang bernafaskan ekonomi kerakyatan.

Maka sesungguhnya terdapat motif beragam atas lahirnya NU di Indonesia. Selain karena diperlukannya wadah yang dapat menampung komunitas pesantren, saat itu dibahaslah isu mengenai khilafah di Hijaz pada 1926 usai runtuhnya Usmaniyah. Indonesia (Hindia-Belanda) kala itu mengirimkan dua delegasi yang masing-masing diwakili oleh pemimpin Serikat Islam HOS Tjokroaminoto dan Muhammadiyah oleh KH Mas Mansur.

Sementara kaum tradisionalis pesantren yang merasa tidak terwakili pada akhirnya membentuk Komite Hijaz dan menamai diri dengan nama Nahdlatul Ulama. Maka Tiar menjelaskan, pendirian NU kala itu sebagai sebuah organisasi jelas tidak menyalahi aturan dan tidak diperbolehkan bagi Belanda untuk mencekalnya.

“Belanda itu menguasai Hindia-Belanda cuma di top level-nya saja. Jadi hanya sampai gubernur jenderal, dan maka ke bawahnya itu tetap dipegang oleh pribumi. Jadi tidak ada alasan bagi Belanda untuk tidak mengizinkan NU sebagai sebuah organisasi,” kata dia.

Sebab jika Belanda melakukan pelarang terhadap itu, ia tidak akan mampu merebut hati masyarakat yang pada akhirnya tidak dapat mempercayai pemerintahan kolonial. Selanjutnya dia juga menekankan, tidak dicekalnya pendirian NU sebagai sebuah organisasi karena Belanda masih menganggap bahwa organisasi tersebut belum membahayakan kepentingan pemerintah kolonial.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement