Sabtu 30 Jan 2021 13:51 WIB

Marine Le Pen: Saya Percaya Jilbab Pakaian Ekstremis

Le Pen diuntungkan dari frustrasi dan kemarahan atas pandemi

Rep: Kiki Sakinah/ Red: A.Syalaby Ichsan
Politisi perempuan sekaligus pengacara dan anggota parlemen Eropa Marine Le Pen
Foto: Wikipedia
Politisi perempuan sekaligus pengacara dan anggota parlemen Eropa Marine Le Pen

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemimpin sayap kanan Prancis Marine Le Pen pada Jumat (29/1) mengusulkan pelarangan jilbab Muslim di semua tempat umum. Langkah demikian hampir pasti akan dianggap tidak konstitusional.

Namun, isu tersebut adalah tema kampanye yang akrab bagi politisi wanita berusia 52 tahun itu, menjelang 15 bulan sebelum pemilihan presiden 2022 negara itu. Dalam konferensi pers di mana dia mengusulkan undang-undang baru untuk melarang 'ideologi Islam', Le Pen menyebut Muslim totalitarian dan kejam."Saya percaya bahwa jilbab adalah pakaian ekstremis," kata Le Pen, dilansir di The National, Sabtu (30/1).

Baca Juga

Sejak memimpin partai sayap kanan utama Prancis dari ayahnya, Le Pen telah mencalonkan diri dua kali sebagai presiden Prancis. Pada 2017 dia kalah besar dari pendatang politik baru Emmanuel Macron, dan pada 2018 dia dicoret sebagai kekuatan politik.

Namun, jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan dia lebih dekat dari sebelumnya ke tujuan utamanya. Hal ini telah menyebabkan banyak spekulasi mengenai apakah populis anti-Uni Eropa dan anti-imigrasi itu dapat memasuki Istana Elysee.

Sebuah survei yang dirilis pekan ini menunjukkan bahwa dia berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Macron. Le Parisien melaporkan, jajak pendapat yang dilakukan secara online oleh Harris Interactive menunjukkan bahwa jika pemilihan presiden putaran terakhir diadakan hari ini, Le Pen akan mengumpulkan 48 persen suara, sementara Macron akan terpilih kembali dengan 52 persen.

"Ini sebuah jajak pendapat, ini cuplikan sesaat, tetapi yang ditunjukkan adalah bahwa gagasan saya menang itu kredibel, bahkan masuk akal," kata Le Pen pada konferensi pers pada Jumat.

Prospek perlombaan yang ketat memicu lonceng peringatan di arus utama politik Prancis karena krisis kesehatan dan ekonomi ganda yang disebabkan oleh pandemi virus corona yang melanda seluruh negeri. Namun demikian, seorang ilmuwan politik Prancis yang mengkhususkan diri pada sayap kanan, Jean-Yves Camus mengatakan angka itu adalah yang tertinggi yang pernah Le Pen capai. Meskipun, menurutnya, terlalu dini untuk mengambil jajak pendapat begitu saja.

Camus mengatakan, Marine Le Pen diuntungkan dari frustrasi dan kemarahan atas pandemi dan pembatasan yang menyertainya serta pemenggalan kepala guru sekolah Prancis Samuel Paty oleh ekstremis Islam Oktober lalu.

"Itu berdampak besar pada opini publik. Dan di bidang ini, Marine Le Pen memiliki keuntungan: partainya terkenal karena posisinya yang mengecam ekstremisme Islam," kata pakar dari Yayasan Jean-Jaures kepada AFP.

Menanggapi kematian Paty, pemerintahan Macron telah menutup sejumlah organisasi yang dianggap ekstremis dan membuat rancangan undang-undang yang awalnya disebut "RUU anti-separatisme", yang menindak pendanaan asing untuk organisasi Islam.

Jika terpilih kembali setelah kampanye yang diharapkan difokuskan pada pekerjaan, yakni pandemi dan tempat Islam di Prancis, Macron akan menjadi presiden pertama sejak Jacques Chirac pada 2002 yang memenangkan masa jabatan kedua. 

BACA JUGA: Fans Liverpool, Ini Kabar Gembira dari Jurgen Klopp!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement