Senin 25 Jan 2021 23:43 WIB

Cerita Gus Baha Mengapa Kiai-Kiai Berteman dengan Preman 

Gus Baha menjelaskan mengapa para kiai bisa berteman dengan preman

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Gus Baha menjelaskan mengapa para kiai bisa berteman dengan preman. Gus Baha
Foto:

 

Seberapa penting kearifan itu?

“Kearifan ini penting. Saya beri contoh tentang seorang preman. Jadi, ketika nabi Isa jalan-jalan dengan khawariyyin atau kaum-kaum pilihan, preman ini spontan ingin bergabung bersama nabi Isa dan khawariyyin,” kata Gus Baha.

Tapi, kata Gus Baha, khawariyyin tersebut mempercepat jalannya karena beliau tidak mau sejajar dengan preman. Sedangkan si preman memperlambat jalannya karena tidak ingin setara dengan kaum khawariyyin, dia merasa tidak pantas berjalan dengan orang saleh.

Saat itu juga Allah kemudian memberikan wahyu kepada Nabi Isa, “Wahai Isa bilang ke santri kamu itu yang khwariyyin, semua kebaikannya saya hapus. Dan bilang sama yang preman semua keburukannya saya hapus”. Jadi, yang khawariyyin dihapus kebaikannya karena angkuh, yang preman dihapus kejelekkanya karena tawadu. Kata Allah, keduanya harus mulai dari nol untuk menjadi orang baik.

“Sehingga dari cerita-cerita kitab Ihya Ulumuddin seperti ini, saya menyaksikan sendiri guru saya KH Maimoen Zubair atau dari bapak saya bahwa bertetangga dengan siapapun itu tidak masalah. Karena, ada orang yang sedang fasik atau sedang preman. Jadi, itu dibahasakan sedang. Dan Sedang itu artinya tidak ada jaminan kalau dia akan berakhir dengan seperti itu,” tutur dia. 

Jadi bagian dari kearifan kiai-kiai dalam berbangsa dan bernegara karena tidak pernah menstigmasi bahwa orang lain itu lebih buruk ketimbang diri sendiri. “Sehingga kita nyaman saja, nyaman berteman dengan siapa saja karena kita tidak pernah merasa lebih baik,” kata dia.

Alasan para kiai kita itu fleksibel berteman dengan berbagai kelompok karena tidak pernah merasa lebih baik, atau dalam bahasa terkenalnya disebut tawadu. 

Jadi, ketika orang merasa lebih baik maka akan ada keangkuhan, keangkuhan ini kemudian melahirkan sentimen, dan sentimen ini lama-lama menjadikan sosial yang tidak sehat atau bisa chaos.

“Nah, dari pelajaran itu akhirnya cara bernegara atau cara bersosialisasi kita juga itu nyaman-nyaman saja. Karena, Allah SWT itu membuat status sebenarnya itu di akhir, yang disebut dengan husnul khatimah atau su’ul khatimah,” papar dia.

 

Jadi banyak dicerita dari orang-orang dulu, misalnya orang yang niatnya nyantiri tapi tidak menjadi wali. Tapi, Sunan Kalijogo yang pertama kali kenal Sunan bonang ingin merampok atau begal, justru menjadi santrinya dan menjadi wali. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement