REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Joe Biden mulai menjabat sebagai Presiden Amerika pada Rabu (20/1) dengan janji untuk membatalkan aturan larangan perjalanan Muslim. Ia menyebut kebijakan ini adalah prioritas hari pertama dan akan menjadi perintah eksekutif yang membatalkan kebijakan Donald Trump.
Dilansir Aljazeera, sebelumnya kebijakan Trump ini memiliki konsekuensi langsung dan luas. Aturan ini membuat pengungsi terdampar di negara ketiga, memecah belah keluarga dan menolak perawatan kesehatan kritis untuk orang yang sakit. Aturan ini juga mencegah warga Amerika untuk bergabung dengan teman dan kerabat untuk pernikahan, pemakaman, dan wisuda, serta mencegah pasangan menikah.
"Melarang Muslim memasuki negara itu secara moral salah, dan tidak ada intelijen atau bukti yang menunjukkan hal itu membuat bangsa kita lebih aman," kata Biden di situs kampanyenya.
Para pembela hak asasi dan kelompok Muslim Amerika menyambut baik komitmen Biden untuk membatalkan tindakan tersebut. Kendati demikian, mereka mempertanyakan apakah tindakan tersebut cukup untuk mengatasi kerugian yang ditimbulkannya pada banyak orang selama empat tahun terakhir.
"Kami senang Biden akan mencabut larangan tersebut," kata Ibraham Qatabi, seorang pekerja hukum di Pusat Hak Konstitusional.
“Tapi pertanyaannya adalah, apa artinya bagi keluarga yang terkena dampak larangan? Apakah mereka akan mendapatkan visa dan dipersatukan kembali dengan keluarga mereka?" jelas Qatabi.
Sebagai contoh, warga negara Amerika yang lahir di Iran, Meysam Azin (40 tahun) mengajukan aplikasi kartu hijau untuk orang tuanya yang sudah lanjut usia, berusia 65 dan 68 tahun pada Desember 2015. Ia berencana memulai sebuah keluarga, berharap mereka bisa datang dan membantu merawat orang tuanya.
Tetapi larangan perjalanan yang diberlakukan menempatkan rintangan besar dalam prosesnya. Dia mencari bantuan pengacara. Namun, aplikasi mereka terjebak dalam "pemrosesan administratif" selama berbulan-bulan, dan ketika mereka mendengarnya, itu adalah permintaan untuk lebih banyak dokumentasi. Ibunya, Fatima, akhirnya dipanggil untuk wawancara pada Januari 2020, tapi ayahnya tidak.
Situasi mereka semakin diperumit oleh fakta bahwa tidak ada kedutaan besar AS di Iran. Sehingga mereka harus melakukan perjalanan ke negara-negara terdekat, Armenia atau Turki untuk wawancara konsuler, atau dalam kasus orang tua Azin, UEA, negara yang tidak dapat mereka jangkau karena pembatasan perjalanan virus corona.
Azin, yang memegang gelar PhD di bidang teknik kelistrikan dan tinggal di San Diego bersama istri dan dua anaknya mengatakan prosesnya sangat menegangkan sehingga menyebabkan dia didiagnosis dengan kecemasan dan depresi parah pada 2017. Ayahnya juga baru-baru ini mulai menunjukkan tanda-tanda depresi dan demensia.
"Saya selalu membayangkannya setiap hari bahwa mereka akan datang. Saya bermimpi bahwa kami semua duduk di luar di halaman belakang kami dan kami memanggang dan anak-anak berlarian. Apakah itu terlalu besar untuk diminta?”ujarnya.