Dilansir Al Arabiya, Sabtu (9/1), Pemimpin Oposisi Majelis Provinsi Assam dan Anggota Kongres Nasional India, Debabrata Saikia mengatakan pemerintah telah memperkenalkan undang-undang untuk membagi masyarakat sesuai garis komunal menjelang musim pemilihan di wilayah tersebut.
"Kami telah menuntut agar tindakan itu dicabut. Pelarangan institusi tidak akan menyelesaikan apa-apa. Jika tujuannya untuk memodernisasi pendidikan, pemerintah harus merevisi kurikulum dan membangun infrastruktur yang lebih baik. Perlu ada perencanaan matang,” kata Saikia.
Sayangnya, pemerintah bersikukuh langkah tersebut diperlukan untuk mereformasi dan membuat sekuler dunia pendidikan di negara bagian. "Reformasi dalam pendidikan sangat dibutuhkan dan ini adalah langkah baru menuju hal itu," kata Juru Bicara BJP di Assam, Rupam Goswami.
Dia menyebut oposisi fokus pada larangan madrasah karena tidak ada hal lain untuk ditentang pemerintah. "Setiap orang perlu memahami kami tidak menutup semua madrasah, tetapi hanya yang dibantu oleh pemerintah. Kami tidak dapat mengajarkan Alquran dengan uang publik. Kami akan sepenuhnya mengubah institusi ini sehingga pendidikan yang layak dapat diberikan," ujar dia.
Namun, para kritikus pemerintah mengatakan langkah pembubaran sekolah Islam tidak ada hubungannya dengan sekularisasi sistem pendidikan karena madrasah bukan hanya lembaga keagamaan.
"Madrasah tidak hanya menyebarkan ajaran agama. Selain Alquran dan teologi Islam, ada kursus tentang Arab dan sastra Islam, sejarah Islam dan India. Ini bukan hanya pendidikan agama. Ini termasuk dalam bidang hak untuk pendidikan. Banyak siswa dari institut ini pergi ke berbagai negara teluk dan mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak hanya menjadi ulama,” ujar Pengacara Hak Asasi Manusia dari Assam, Aman Wadud.