Senin 04 Jan 2021 04:57 WIB

Benarkah Pan Islamisme dan Khilafah Selalu Transnasional?

Awal kajian soal ide Pan Islamisme dan khilafah.

Para orang kaya di zaman Ottoman (ilustrasi)
Foto:

Mengenai pilihan periode yang dimulai tahun 1882 dipilih karena pada tahun itulah sang penguasa ‘Uṡmāniyyah yang kental dengan kebijakan Pan-Islamisme-nya, Sultan Abdülḥamit II (k. 1876-1908), mulai mengarahkan konsentrasi kebijakannya dengan entitas yang ada di Hindia-Belanda.

Relasi resmi itu ditandai dengan pembukaan kantor konsulat kehormatan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah pertama di Batavia, dengan Sayyid ‘Abd al-‘Azīz al-Mūsawī al-Bagdādī sebagai konsul kehormatan pertama yang ditunjuk oleh Sultan Abdülḥamit II.

Selain relasi politis, fokus pembahasan dalam tulisan seanjutnya juga menyorot relasi sosiologis rakyat Hindia-Belanda dengan institusi politik Khilāfah. Karena itulah walau Khilāfah ‘Uṡmāniyyah telah runtuh pada tahun 1924, sebagian besar rakyat Muslim Hindia-Belanda tetap serius memikirkan dan berusaha agar bagaimana caranya Khilāfah dapat ditegakkan kembali.

Usaha tersebut terus berjalan sampai lima tahun berikutnya, sampai akhirnya terbengkalai karena kaum pergerakan Islam yang mewakili rakyat Hindia sudah teralihkan konsentrasinya. Mereka kini tak lagi memikirkan masalah Khilāfah sebagai negara- umat (ummah-state) hanya menjadi sekedar memikirkan negara-bangsa (nation-state) sebagai basis tujuan dalam mencapai kemerdekaan.

Simbol peralihan hal tersebut terjadi dengan bersepakatnya berbagai elemen aktivis di Hindia-Belanda dalam peristiwa Soempah Pemoeda di tahun 1928.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement