Sabtu 02 Jan 2021 16:20 WIB

Menelusuri Hubungan PAN-Islamisme dan Khilafah (1)

Kajian normatif soal khilafah.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto:

A. Khilāfah dalam Kajian Normatif

Dalam khazanah keislaman, Khalīfah merupakan sebuah gelar untuk pemimpin kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah ṣallāllahu ‘alayhi wa sallam.

Allah berfirman dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengatakan kepada para malaikat, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan di Bumi ini seorang Khalīfah.’” (wa iż qāla rabbuka li al-malā’ikah innī jā’ilun fī al-arḍi khalīfah).

Menurut al-Qurṭubī, ayat ini merupakan hukum asal akan wajibnya mengangkat Imām dan Khalīfah yang didengar dan ditaati (hāżihi al- āyah aṣlun fī naṣbi imāmin wa khalīfatin yusma’u lahu wa yuṭa’).

Khalīfah merupakan wakil Allah di muka bumi ini yang ditugaskan untuk menjaga dan menerapkan hukum-Nya.

Hukum Tuhan ini bertujuan untuk mengatur perbuatan manusia dalam segala seginya, ibadah mereka, segala tata-cara hidup mereka, juga yang berhubungan dengan negara yang memang merupakan kemestian bagi masyarakat umat manusia.

Selain itu, dalam beberapa hadisnya Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam juga pernah menyampaikan perihal Khalīfah.

Beliau bersabda, “Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah al-Khulafā’ al- Rāsyidīn yang diberi petunjuk (oleh Allah) setelahku, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham.” (fa ‘alaykum bi sunnatī wa sunnati al-khulafā’ al-mahdiyyīn al-rāsyidīn, tamassakū bihā wa aḍḍū ‘alayhā bi al-nawājiż).

Atau dalam hadis lain, seperti sabdanya, “Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, maka akan digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi lagi setelahku. Dan akan ada khulafā’ yang banyak.” (kānat banū Isrā’īla tasūsuhum al-anbiyā’, kullamā halaka nabiyyun khalafahu nabiyyun. Wa innahu lā nabiyya ba’dī, wa sayakūnu khulafā’u fa yakṡurūn). Dengan negara yang memang merupakan kemestian bagi masyarakat umat manusia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Institusi Khilāfah yang sesuai dengan metode kenabian (minhāj al- nubuwwah) dijalankan oleh Khalīfah yang empat; Abū Bakr, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, ‘Uṡmān bin Affān, ‘Alī bin Abī Ṭālib, ditambah al-Ḥasan bin ‘Alī selama enam bulan. Setelah al-Ḥasan, kepemimpinan umat Islam dipegang oleh Mu’āwiyah bin Abī Sufyān di Damaskus.

Menurut al- Khamīs, Mu’āwiyah dapat menjalankan pemerintahannya dengan begitu baik. Kepemimpinannya yang berlangsung selama 40 tahun dirasakan oleh rakyatnya begitu aman dan sejahtera.

Hanya saja, di ujung senja masa jabatannya, Mu’āwiyah berpandangan bahwa kekuasaan harus tetap dipegang oleh anaknya, Yazīd, dengan alasan agar negara tetap stabil karena dipegang oleh orang yang kuat dan dipercayainya.

Hal tersebut benar-benar ia realisasikan dengan mengangkat Yazīd sebagai Khalīfah. Tentu saja, pada awalnya hal ini tidak dapat berjalan lancar karena kebijakan tersebut ditolak oleh sebagian besar Sahabat Nabi.

Ketika Marwān yang berlaku sebagai utusan Mu’āwiyah berkhutbah di Madinah untuk meminta baiat penduduknya, Marwān menyampaikan, “Siapa saja yang menyelisihi Mu’āwiyah (dalam perkara pengangkatan anaknya sebagai Khalīfah, pen.) maka dia telah menyelisihi sunnah Abū Bakr dan ‘Umar.”

Perkataan itu langsung disela oleh salah seorang putra Abū Bakr, yakni ‘Abd al-Raḥmān b. Abī Bakr sebagao berikut: 

  • Justru itu adalah sunnahnya Heraklius dan Kaisar Romawi. Demi Allah, sesungguhnya Abū Bakr tidak menjadikan jabatan Khalīfah untuk anaknya seorang pun, tidak pula seorang pun dari anggota keluarganya (Bal sunnah Hiraqla wa Qayṣar, inna Abā Bakrin wallāhi mā ja’alahā fī aḥadin min waladihi, wa la aḥadin min ahli baytihi).
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement