REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Mungkinkah seorang Muslim itu pembohong?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak!” Sayyid Sabiq dalam sebuah kitabnya menjelaskan perihal hadis tersebut. Menurutnya, jawaban Nabi SAW itu menegaskan, iman dan kebiasaan berbohong tidak bisa berkumpul dalam hati seorang Muslim.
Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan kokoh dalam pribadi yang tidak jujur. Rasul SAW juga pernah bersabda, “Jauhilah kebohongan. Sungguh, kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan kepada neraka. Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong” (HR Bukhari-Muslim).
Akan tetapi, ada beberapa situasi yang di dalamnya seorang Muslim ditoleransi bila sampai berdusta. Sebab, kebohongan yang dilakukannya boleh jadi menimbulkan maslahat. Berikut ini adalah tiga konteks yang dimaksud, sebagaimana dinukil dari sebuah hadis.
Siasat dalam perang
Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Syihab, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menoleransi kebohongan yang dilakukan Muslimin dalam perang. Maksudnya, pertempuran yang di dalamnya umat Islam berjuang membela agama Allah SWT. Dalam situasi demikian, mereka diperbolehkan berdusta untuk mengelabui musuh. Termasuk dalam hal ini, penerapan strategi atau siasat perang yang dapat memperdaya lawan di medan pertempuran.
Tentunya, kebohongan ini tidak sama dengan pelanggaran terhadap suatu perjanjian damai yang telah dibuat antara Muslimin dan musuh. Adapun contoh dusta yang dibolehkan itu ialah, mengecat rambut para prajurit Muslim yang sudah tua. Dengan begitu, uban pada kepala mereka akan tersamarkan. Dan, musuh akan mengira mereka sebagai pasukan muda.
Upaya mendamaikan
Dalam hadis yang diriwayatkan Ummu Kultsum binti Uqbah Abi Mu’ith, Nabi SAW diketahui pernah bersabda tentang sebuah kebohongan yang ditoleransi. Dusta tersebut ialah yang dilakukan untuk mendamaikan dua orang atau kubu Muslimin yang sedang bertikai. Cara itu bisa ditempuh apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk mendamaikan mereka.
Sebagai contoh, seorang penengah dapat mengatakan kepada seseorang bahwa fulan telah berkata sangat baik tentang dirinya. Kemudian, ia menjumpai si fulan dan menyampaikan bahwa orang tadi sebenarnya melihat pada dan mengagumi sifat-sifat baiknya. Berkata baik dan melebih-lebihkan kebaikan itu, walaupun berbohong, diperbolehkan untuk menyambung kembali silaturahim yang terputus.
Interaksi suami-istri
Dalam hadis yang sama, Rasul SAW juga menoleransi perkataan dusta dari seorang suami kepada istrinya. Begitu pula sebaliknya. Seorang istri boleh berbohong kepada sang suami. Itu selama tujuannya maslahat.
Sebagai contoh, ketika seorang suami mencicipi masakan buatan istrinya. Sang suami tetap memuji-muji masakan itu walaupun, pada faktanya, sajian itu tidaklah enak. Atau, seorang istri menyanjung penampilan suaminya meskipun pakaian yang dikenakannya tidak bagus.
Kebolehan berbohong itu menjadi haram kalau berkaitan dengan tunainya hak dan kewajiban serta fungsi suami dan istri dalam rumah tangga. Misal, tidak boleh suami berdusta dengan mengatakan kepada istri dan anaknya, “Saya tidak punya uang.” Padahal, ia hanya ingin menggunakan semua uangnya untuk maksiat.