Kamis 31 Dec 2020 17:26 WIB

Kisah Pemerintah Kolonial Kala Phobia Pada Sebutan Khilafah

Kala kolonial phobia kepada kalimat khilafah dan kebangkitan Islam

Suasana masyarakat dalam dinasti Ottoman.
Foto:

Terlepas dari semua euphoria tersebut, pada akhirnya – sebagaimana sindiran Jan Schimdt, apa yang dilakukan Pan-Islamisme ‘Uṡmāniyyah di Hindia-Belanda?

Selain secara umum membantu membangkitkan perasaan keislaman yang begitu luas sebelum berkembangnya gerakan nasionalisme, sangat sedikit aksi nyata yang telah Khilāfah ‘Uṡmāniyyah lakukan di Hindia-Belanda:

Tidak ada kapal perang Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang pernah sampai di pantai Aceh ketika berkecamuk perang dari 1873 sampai 1903, dan ketika ada warga Belanda yang tinggal di wilayah ‘Uṡmāniyyah toh mereka tidak pernah terkena boikot.

Hal ini dapat dimaklumi karena selain Khilāfah ‘Uṡmāniyyah sudah melemah semenjak abad ke-19, politik luar negerinya pun sudah mulai terbatas semenjak Khilāfah ‘Uṡmāniyyah meninggalkan Islam sebagai dasar hubungan internasional.

Sebagai gantinya, mereka menganut sejumlah hukum Eropa dalam kerangka hubungan internasional pada 1856,7 yang berarti Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tidak bisa ‘ikut campur’ sedemikian bebasnya untuk urusan Hindia Timur yang dikuasai Pemerintah Kolonial Belanda.

Ironisnya lagi, yang pada akhirnya meruntuhkan dominasi kolonial atas kaum Muslim di Hindia-Belanda bukanlah – setidaknya, bukan yang utama – semangat persatuan Islam yang diilhami dari gagasan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, melainkan satu gagasan yang justru lahir dari rahim Barat, apalagi kalau bukan nasionalisme.

Padahal, di tahun 1924 justru nasionalisme-lah yang telah berperan besar dalam kehancuran Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sekaligus melenyapkan institusi Khilāfah yang sudah berjalan semenjak masa Khalīfah Abū Bakr dan al-Khulafā’ al- Rāsyidūn setelahnya di abad ke-7. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement