Rabu 30 Dec 2020 05:41 WIB

Kisah di Balik Fatwa Natal Buya Hamka

Menelisik fatwa Natal dari Buya Hamka

Foto Buya Hamka dalam buku Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).
Foto:

Seperti diketahui, tahun 1968 adalah tahun yang unik di Indonesia. Sebab umat Islam berhari raya Idul fitri sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968. Secara panjang lebar, dalam buku Dari Hati ke Hati Tentang:Agama,Sosial-Budaya, Politik, Buya Hamka mengisahkan situasi saat itu:

“Dalam sambutan peringatan hari lebaran natal itu, Kepala Jawatan atau Menteri, atau Jenderal menyampaikan demi kesaktian Pancasila yang wajib kita amalkan dan amankan dalam lebaran natal ini, kita menanamkan dalam hati kita sedalam-dalamnya tentang arti toleransi. Dan diaturlah acara mula-mula membaca Al-Qur’an oleh seorang pegawai yang pandai mengaji.

Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau Pastor yang sengaja diundang, dengan membacakan ayat-ayat injil, terutama yang berkenaan dengan kelahiran ‘Tuhan’ Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah yang Tunggal, tetapi dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.

Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam pertemuan lebaran natal itu adalah orang-orang Islam daripada orang-orang Kristen. Orang Islam diharuskan mendengarkan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang. Padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah Nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Qur’an bukanlah kitab suci, melankan buku karangan Muhammad saja.

Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Qur’an, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian Pancasila!

Dan sebagai penutup disuruh kemuka seorang Kyai membaca do’a, seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut do’a-do’a hari natal. Dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kita pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.

Pada hakikatnya, mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keteragan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau tidak diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.

Sementara sang Pastor dan Pendeta menerangkan dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus. Telinga orang islam muntah mendengarkan.

Bertambah mendalam orang-orang beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah telinganya mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan pokok akidah agamanya.

Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan bahwa do’a bersama dalam hari-hari peringatan, tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Do’a demikian pun tidak akan dapat diterima karena do’a adalah ibadah dan ada sendiri ketentuannya. Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah yang satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedankan Pastor dan Pendeta akan berdo’a kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Roh Kudus.

Semangat toleransi yang sejati dan logis ialah ketika orang Islam berdo’a, orang Kristen meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika Pastor berdo’a kepada Tiga Tuhan, orang Islam keluar.” [14]

Dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Al-Azhar, Buya Hamka mengingatkan,

” Haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri upacara natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik. Ingat, dan katakan pada kawan-kawan yang tidak hadir di sini. Itulah aqidah tauhid kita,” tegasnya dengan suara lantang.[14]

Itulah sikap Buya Hamka mengenai acara lebaran natal bersama ini, yang berlanjut menjadi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka yang ketika itu menjadi ketuanya, memutuskan bahwa natal dan idul fitri bersama haram hukumnya.

Mendengar fatwa ini, pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah lalu meminta supaya fatwa itu dicabut. Namun Buya Hamka memilih meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Bagaimana sebenarnya Buya Hamka menghadapi permintaan pemerintah sampai akhirnya mengundurkan diri sebagai Ketua MUI?

Berikut penuturan anaknya, Rusydi Hamka  dalam buku yang berjudul Pribadi dan Martabat Buya Prof.Dr.Hamka:

“Setelah ayah bersama pimpinan harian MUI menghadiri pertemuan dengan Menteri Agama Alamsyah di Departemen Agama, baju kaos Ayah agak basah karena keringat dan wajahnya tampak murung. Berceritalah dia tentang kehebohan fatwa MUI. ‘Ada ketegangan antara MUI dengan Menteri Agama, tapi tadi bisa didinginkan… Tampaknya MUI akan sulit mengeluarkan fatwa-fatwa lagi nanti.’ 

Tiba-tiba saat kami sedang berbicara, Sekretaris Harian MUI Mas’udi masuk. Setelah duduk mendengarkan cerita ayah dan saya, Mas’udi dengan wajah sedih bercerita bahwa dia telah menerima surat keputusan, dia ditarik dari kedudukannya sebagai sekretaris MUI gara-gara menyiarkan fakta itu. 

Ayah terkejut mendengarnya. Setelah melihat surat itu, dia lalu menyuruh saya membacanya keras-keras.

Tiba-tiba ayah berdiri, mengambil telepon minta bicara dengan Menteri Agama. Jawabannya beliau tidak ada di tempat. 

‘Kalau begitu saya mau bicara dengan Sekjen,’ ujar ayah lagi.

Setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung dengan Pak Sekjen Ali Siregar. Saya tak tahu apa jawanban dari Sekjen Departemen Agama itu di seberang sana, yang saya dengar ialah suara ayah karena saya berada di situ. 

‘Saudara kan tahu, soalnya sudah selesai, saya sudah bilang tadi kepada Menteri bahwa beredarnya fatwa itu adalah tanggung jawab saya. Dan saya pun sudah menyatakan bahwa sayalah yang menerima akibat peredaran itu.’

Telepon diletakkan dengan keras, lalu ayah kembali ke tempat duduknya dengan menggelengkan kepalanya.

‘Apa jawabannya?’tanya saya

‘Perintah dari atas,’

Menyusul Pak Hasan Basri masuk ruangan. Merek masih menceritakan pertemuan dengan Menteri dan soal Mas’udi. Ayah dengan suara mantap berkata ‘Hati saya sudah patah.’

Kemudian Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia menyuruh saya jam itu menemui Duta Besar Irak. ‘Bilang padanya supaya undangan ke Irak diundur bulan depan. Tiketnya dibatalkan saja. Kalau dia bertanya alasan pengunduran, bilang saja ayah sakit,’ Saya pun berangkat mengikuti perintahnya.

Hari-hari berikutnya saya membaca pernyataan Majelis Ulama yang ditandatangani oleh Ayah sebagai Ketua Umumnya dengan Sekretaris Jenderal Burhani Tjokrohandoko yang mencabut beredarnya fatwa Majelis Ulama soal natal itu. 

Tapi besoknya saya disuruh mengantar release yang dibuat atas nama pribadi ayah sendiri ke koran-koran , isinya menegaskan bahwa pencabutan itu tidak berarti bahwa fatwa itu batal. Fatwa itu sah, yang dicabut hanyalah peredarannya.

Tanggal 18 Mei 1981, ketika saya sedang bekerja di kantor Panji Masyarakat. Ayah menelpon menyuruh saya datang. Sehari sebelumnya ayah baru kembali dari Medan. Saya kira bakal ada oleh-oleh dari Medan untuk cucu-cucunya. Tapi saya dapati ayah  sedang duduk menghadapi mesin tiknya. Dia tersenyum ke arah saya, ‘Ayah sudah mengambil keputusan.’

Saya tahu keputusan itu ialah yang menyangkut Majelis Ulama, tapi saya belum tahu bagaimana cara yang bakal di tempuhnya. 

‘Sebentar lagi ada rapat pimpinan harian di kantor Majelis yang baru di Istiqlal. Inilah rapat pertama di kantor itu dan ini pula pertama kali ayah melihat kantor itu. Tapi kedatangan ayah ke sana juga untuk terakhir kalinya,’ ujarnya dengan wajah berseri-seri.

‘Jadi ayah sudah berhenti?’ tanya saya mengingatkan saran-saran yang melarang dia berhenti.

‘Soalnya sudah lain, sadang lamak beranti (sedang enak berhenti),’ katanya dengan nada humor. Tapi jelas dari wajahnya bahwa dia merasakan bahagia pagi itu. Saya tak dapat menahan haru, lalu saya merangkulnya. Saya menangisinya dan ayah menenangkan saya. Setelah menuntun tangannya ke kursi, ayah bercerita tentang Imam Malik pada saya. 

Saya kembali ke meja tulis membaca selembar surat di atas meja yang baru saja selesai dikarangnya. Dan ayah sudah siap hendak ke Masjid Istiqlal membawa dan akan membacakan surat itu. Inilah bunyinya:

Bismillahir Rahmaanir Rahim

  1.  Menteri Agama H.Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia tanggal 23 April 1981 yang lalu telah menyatakan kecaman atas tersiarnya fatwa MUI. Dalam kecamannya itu H. Alamsyah telah menunjukkan kemarahannya dan menyatakan ingin mengundurkan diri dudukannya sebagai Menteri Agama.
  2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan:Bukan Beliau, tapi sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya Fatwa yang membuat Menteri Agama mau mengundurkan diri itu.
  3. Karena anggapan bahwa Majelis Ulama masih diperlukan adanya di Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya, maka saya pun  menandatangani surat Keputusan Pencabutan peredaran itu dengan pengertian bahwa nilai Fatwa itu tetap shah sebagaimana yang telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
  4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi akan shahnya isi Fatwa tersebut, sebagaimana telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun demikian saya berharap pula kerja sama yang lebih baik antara ulama dan umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui pimpinan Majelis Ulama setelah saya meletakkan jabatan.
  5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia di hadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang memilih saya melalui Munas MUI tahun 1980 yang lalu. Terimakasih.

Jakarta, 18 Mei 1981

(Hamka)[15]

 Akhirnya fatwa itu menjadi sebuah ketok palu yang menghantam runyamnya hubungan Islam dan Kristen yang sudah bertumpuk-tumpuk masalahnya. Sudah menjadi tugas seorang ulama untuk membimbing umat Islam agar tak terjerumus ke dalam lubang kerancuan atas nama toleransi.

Enam tahun sebelumnya, 27 Juli 1975, di Gedung Sasono langen Budoyo, Taman Mini Indonesia, saat Buya Hamka dilantik menjadi Ketua MUI, ia berkata,

“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.”[16]

Kue bika itu begitu teguh berjuang. Alangkah  bebas dan merdeka jiwanya. Betapa mantap pada diri sendiri dan yakin pada jalan hidup yang telah dipilihnya. Sungguh tak bersyukur bila kini kita khianati fatwanya. [17]

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement