REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Terdapat banyak riwayat yang ditemukan dari berbagai sumber mengenai kondisi Nabi Muhammad menjelang hari meninggal beliau. Di hari-hari menjelang berperginya Rasulullah, beliau sempat mengunjungi istri-istrinya dan bersenda gurau.
Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, usai mengunjungi kediaman istri terakhir Nabi, Maimunah, beliau mengunjungi Aisyah. Ketika itu, Aisyah mengeluh dan berkata: “Wa ra’sah,”. Yang artinya: “Aduhai sakit kepalaku,”.
Kemudian Nabi pun menjawab: “Bal ana wallahi ya Aisyata wa ra’sah,”. Yang artinya: “Akulah, demi Allah wahai Aisyah (yang lebih wajar berkata): aduhai sakit kepalaku,”. Kemudian, Nabi bersenda gurau kepada Aisyah: “Maa dharraki law mutti qalbi faqumtu alaiki fakafantuki fashalaitu alaiki wadafantuki,”.
Yang artinya: “Apa salahnya jika engkau wafat sebelum aku, maka aku mengurus engkau, aku mengafankanmu dan menshalatimu, serta menguburkanmu,”.
Sayyidah Aisyah pun menjawab: “Ka-annaniy bika law fa’alta dzalika qad raja’ta ila baiti la-a’rasta fihi biba’dhi nisaa-ika,”.
Yang artinya: “Terbayang olehku jika engkau lakukan, maka engkau segera kembali ke kediamanku lalu kawin di sana dengan salah seorang istrimu,”.
Mendengar jawaban Aisyah ini pun, Nabi Muhammad SAW tersenyum. Dijelaskan bahwa dari dialog tersebut, sakit kepala Nabi belum terlalu keras.
Sebab walaupun Nabi terbiasa bercanda dengan istri-istri beliau, namun jika serangan sakit kepala itu amat keras, tentulah tidak ada canda.
Namun demikian, Prof Quraish menjelaskan, wajar juga dicatat bahwa Nabi Muhammad SAW sejak sebelum peristiwa itu dialog tersebut, kematian sudah terbayang di pelupuk mata beliau. Buktinya antara lain canda tersebut berkaitan dengan kematian.
Prof Quraish menjelaskan, kemungkinan setelah peristiwa itu Nabi Muhammad SAW kembali lagi ke kediaman Maimunah karena hari itu memang masih giliran Maimunah. Atau jika memang bukan lagi gilirannya, maka bisa juga Rasulullah SAW mendahulukan kehadirannya di sana.
Sebab tidak selaluu Nabi menggilirkan kehadiran beliau ke kediaman istri-istri beliau secara berurut. Terlebih ada di antara istri beliau yang rela sekadar dikunjungi tanpa bermalam.
Bisa jadi kunjungan Nabi Muhammad SAW ke kediaman Maimunah setelah beberapa hari dari canda dalam dialog antara Nabi dengan Sayyidah Aisyah, yakni setelah tibanya giliran Maimunah. Apalagi Maimunah cukup dekat di hati Nabi lantaran ia adalah saudara dari istri paman beliau, Al-Abbas.
Yang jelas apapun yang terjadi, di kediaman Sayyidah Maimunah lah Nabi Muhammad SAW merasakan parahnya sakit beliau. Dan lalu di sanalah Nabi dipindhkan ke kediaman Sayyidah Aisyah. Dalam hal ini, terdapat riwayat yang menjelaskan bagaimana sakit Nabi di kala itu menjelang hari-hari meninggalnya.
Diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri bahwa ada seseorang yang meletakkan tangannya di tangan Nabi, lalu ia berkata: “Demi Allah, tanganku tidak mampu memikul panasnya suhu badanmu, wahai Nabi,”.
Riwayat lain ada juga yang berkata: “Alangkah parahnya penyakitmu, wahai Nabi,”.
Mendengar hal ini, Rasulullah pun bersabda: “Inna ma’asyiral-anbiya-I yusha’afu lanaal-balaa-u,”. Yang artinya: “Dilipatgandakan cobaan bagi kami kelompok para Nabi,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim.
Di kediaman Sayyidah Maimunah
Penyakit Rasulullah yang bertambah parah itu menjadikan beliau tidak sadarkan diri. Sehingga sebagian yang berada di sekeliling Nabi memberikan obat tradisinal. Sementara, dijelaskan, terdapat juga pakar yang mengatakan bahwa pemberian obat itu dilakukan setelah Nabi dipindahkan ke kediaman Sayyidah Aisyah dari kediaman Sayyidah Maimunah.
Obat yang diberikan ke Nabi berasal dari Habasyah (Ethiopia) yang rasanya sangat buruk dan pahit. Obat itu diletakkan di pinggir bibir pasien agar mengalir ke dalam mulutnya. Sementara pakar lain mengatakan bahwa pemberian obat diberikan kepada Rasulullah ketika beliau berada di kediaman Sayyidah Maimunah usai keluarga Nabi bermusyawarah.