REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Sebuah perusahaan perbankan digital mencatat 800 juta Muslim perempuan tidak memiliki rekening bank. Artinya, 800 juta populasi muslim global kehilangan layanan keuangan dasar dan hak-hak sosial mereka.
CEO platform perbankan digital yang berbasis di Inggris Algbra, Zeiad Idris mengatakan, dalam agama Islam adalah hal umum bagi laki-laki untuk bertanggung jawab atas keuangan rumah tangga.
"Dalam komunitas (Muslim) kami, tidak jarang anggota keluarga laki-laki memegang rekening bank atas nama mereka dan mengontrol keuangan keluarga," kata Algbra dilansir di Arab News, Selasa (22/12).
Penelitian yang diterbitkan oleh Forum Ekonomi Dunia menemukan ketimpangan gender lebih tinggi di negara-negara yang memiliki PDB rendah. Menurut Algbra, 29 persen lebih banyak perempuan yang tidak memiliki rekening bank di Bangladesh dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan di Mesir perbedaannya adalah 11 persen.
Abbas Basrai, mitra dan kepala layanan keuangan di Teluk untuk perusahaan pembiayaan KPMG, juga mengatakan kemandirian finansial sangat penting bagi perempuan. “Undang-undang warisan yang diskriminatif di banyak negara, serta kerentanan perempuan terhadap pelecehan, sangat penting bagi mereka untuk dapat mengakses keuangan mereka sendiri untuk menjaga kemandirian, keamanan, dan kualitas hidup mereka,” kata Basrai.
Menurut penulis laporan tentang perempuan dan tanah di dunia Muslim, Rafic Khouri, mengatakan hak waris sering disalahartikan sehingga menyebabkan perempuan dikeluarkan dari daftar warisan. Padahal dalam hukum Islam, bagian warisan perempuan umumnya setengah dari milik laki-laki.
Dalam beberapa kasus yang jarang mereka mungkin mendapatkan bagian yang sama atau lebih besar daripada saudara laki-laki. Daisy Khan, pendiri Women's Islamic Initiative in Spirituality and Equality (WISE), sebuah jaringan global perempuan Muslim yang berkomitmen membangun perdamaian dan kesetaraan gender, berpendapat menghalangi perempuan memiliki suara yang setara dalam keuangan adalah pengingkaran terhadap hak asasi mereka.
"Jika seorang perempuan sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk masa depan finansialnya, hidupnya diatur, mencegahnya menjalani kehidupan yang memuaskan,” ujar Daisy Khan.
Bank Dunia menyebutkan, Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai negara mayoritas Muslim memiliki kesenjangan gender terluas dalam kepemilikan rekening bank. Hanya 35 persen perempuan yang memiliki rekening bank, dibandingkan laki-laki sebanyak 52 persen yang memiliki rekening bank.
Menurut penelitian oleh International Finance Corporation, memiliki lebih banyak perempuan yang dimasukkan ke dalam ekonomi juga akan berdampak pada PDB. Penelitian tersebut mengutip temuan McKinsey bahwa jika perempuan berpartisipasi dalam ekonomi dengan dasar yang sama seperti laki-laki, itu akan menambah 12 triliun dolar, atau 11 persen, ke PDB global tahunan 2025.
Bank Dunia juga menyatakan, layanan keuangan dasar dan penguatan peran perempuan di bidang keuangan merupakan salah satu kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. "Merampas kemerdekaan finansial perempuan sangat merugikan negara-negara Muslim karena tidak ada negara yang benar-benar dapat dibangun tanpa partisipasi semua warganya, baik laki-laki maupun perempuan," kata Khan.
Apabila tidak memiliki rekening bank di dunia, bukan hanya perempuan Muslim yang dirugikan, tapi juga Muslim secara umum karena mereka adalah kelompok terbesar di dunia yang tidak memiliki layanan perbankan. Ini terlepas dari pertumbuhan keuangan Islam, yang diperkirakan bernilai 3,8 triliun dolar (Rp 54,32 triliun) pada 2022.
Jumlah Muslim 47 persen dari 1,7 miliar orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank. Menurut Algbra, 12 dari 15 negara yang paling tidak memiliki rekening bank di dunia adalah mayoritas Muslim atau memiliki populasi Muslim yang signifikan.
Menurut data Bank Dunia, di Arab pada 2018, sebanyak 52 persen laki-laki memiliki rekening bank dan hanya 35 persen perempuan yang memilikinya. Sedangkan menurut Studi Thomson Reuters pada 2018 menemukan, sekitar 34 persen orang dewasa di Afghanistan dan 27 persen di Irak dan Tunisia mengatakan, kekhawatiran agama telah mencegah mereka mengakses layanan keuangan.
"Banyak Muslim membatasi penggunaan layanan keuangan mereka karena kegagalan pasar untuk menyediakan layanan yang sesuai dengan "persyaratan berbasis agama dari konsumen tersebut," kata salah satu pendiri Algbra.
https://www.arabnews.com/node/1780506/business-economy