REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sepakat untuk memundurkan waktu Subuh 8 menit dari waktu semula. Keputusan ini merupakan salah satu hasil Musyawarah Nasional (Munas) ke-31 Tarjih Muhammadiyah yang disampaikan pada Ahad (20/12) lalu.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengatakan, waktu Subuh sebetulnya sudah dibahas sejak Munas Tarjih Muhammadiyah 2010 silam. Saat itu dia mengakui terjadi perdebatan terhadap pendapat baru bahwa waktu Subuh di Indonesia terlalu pagi.
"Supaya lebih akurat, kemudian dilakukan penelitian karena memang kelihatannya Indonesia ini paling pagi (waktu Subuhnya). Jadi dilakukan berbagai penelitian lapangan. Banyak sekali data-data yang diperoleh dari para astronom dari pusat studi di lingkungan Muhammadiyah dan juga orang perorangan. Jadi akhirnya dikurangilah (waktu Subuh), mendekati yang banyak diamalkan di beberapa negara, yaitu 18 derajat," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (21/12).
Syamsul menjelaskan, patokan waktu Subuh di Indonesia adalah posisi matahari di ketinggian minus 20 derajat atau saat matahari masih berada di bawah ufuk 20 derajat. Sedangkan di beberapa negara lain, Mesir misalnya, patokannya yakni minus 19,5 derajat.
"Ada Ahli Astronomi Mesir Ahmad Sulaiman yang menilai patokan di negaranya itu kepagian. Beliau adalah mantan kepala pusat penelitian geofisika Mesir, sudah almarhum. Jadi beliau secara pribadi memundurkan shalatnya kurang lebih setengah jam dari jadwal resmi berdasarkan patokan 19,5 itu tadi. Artinya dia tidak percaya sebagai seorang astronom terhadap minus 19,5 itu, apalagi kita di sini yang minus 20 derajat," tuturnya.
Atas dasar itu, Syamsul menambahkan, Muhammadiyah melakukan penelitian melalui tiga institusinya, yaitu Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU).
"Beberapa tahun ini, 3-4 tahun terakhir, lembaga-lembaga itu melakukan penelitian lapangan. Akhirnya, memang ternyata banyak data bahwa kemunculan fajar tiap hari itu tidak sama. Ada yang rendah minus 13, minus 15. Akhirnya diputuskan patokannya minus 18 derajat, jadi dikurangi (dari patokan selama minus 20 derajat)," katanya.
Kalau posisi matahari di ketinggian minus 20 derajat, terang Syamsul, berarti bahwa posisi matahari lebih dalam dari ufuk sehingga waktu menjelang terbitnya Matahari itu lebih lama. Pergerakan satu derajat membutuhkan waktu 4 menit. Jika menggunakan patokan minus 20 derajat, maka dibutuhkan waktu 80 menit menjelang terbitnya Matahari.
"Kalau minus 18 derajat, berarti jadi 72 menit sebelum terbit. Jadi dimundurkan 8 menit, dengan perhitungan satu derajat itu 4 menit. Dikurangi 2 derajat berarti dimundurkan 8 menit. Ini kedalaman Matahari di bawah ufuk saat kita mulai shalat Subuh," jelasnya.
Lebih lanjut, Syamsul menyampaikan, keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah ini selanjutnya akan ditetapkan oleh PP Muhammadiyah. Selain itu, dia mengatakan, rencananya keputusan tersebut juga akan diusulkan ke pemerintah untuk turut mengoreksi patokan waktu dimulainya shalat Subuh di Indonesia. "Kita juga akan mengusulkan ke pemerintah," imbuhnya.