REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Terorisme Islam menjadi istilah yang mengacu pada suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oknum komunitas Muslim yang memandang orang selain Muslim sebagai musuh mereka.
Ini diyakini upaya yang dilakukan melalui ‘pembenaran’ tersendiri yang menurut mereka didasarkan dari ayat-ayat Alquran dan apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW.
Sejumlah peristiwa terkait dengan apa yang diduga sebagai terorisme Islam selama ini telah terjadi.
Seperti Boko Haram, yang dikenal sebagai kelompok militan dari Nigeria yang kerap menyerang dan membunuh orang-orang di wilayah negara itu. Pekan lalu, pembunuhan massal terjadi, dengan seorang kelapa buruh tani ditemukan tewas terpenggal dan 43 orang lainnya meninggal.
Di tempat lain di Afrika, kelompok radikal yang terkait dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memenggal 50 orang di Mozambik.
Sementara tahun lalu seluruh Pemerintah Mali, termasuk perdana menteri, harus mengundurkan diri, akibat organisasi teroris yang terkait dengan Alqaidah mengingkari perjanjian yang dibuat pada 2015. Peristiwa ini mengarah ke malapetaka baru di negara itu.
Dilansir Middle East Forum, dalam opini yang ditulis Tarek Fatah, seorang pendiri Muslim Canadian Congress dan Columns di media Toronton Sun, setiap orang harus berpikir ulang mengenai teroris dan militan yang mengaku terinspiras ideologi Islam. Jangan dengan mudah menduga bahwa mereka benar-benar melakukan itu karena agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini.
Di Indonesia, insiden terorisme terjadi dengan tersangka membunuh empat warga Kristiani di Sulawesi. Saat itu, Kepolisian Nasional mengatakan ada 10 pelaku yang terkait dengan kelompok teroris.
Tak ketinggalan, Afghanistan yang telah menyaksikan tiga dekade Taliban, ISIS, dan organisasi yang berbasis di Pakistan melakukan serangan yang menewaskan 34 orang dan puluhan lainnya terluka.
Insiden teror di Prancis dan Austria dan Wina tidak pantas disebutkan jika dibandingkan dengan apa yang sudah terjadi.
Namun, selain Presiden Prancis Emmanuel Macron, tidak ada satu pun pemimpin di negara Barat yang berani mengucapkan frasa ‘terorisme Islam’.
Pada 2016, mantan presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengatakan bahwa tidak akan menggunakan frasa 'terorisme Islam'. Dia mengatakan bahwa itu adalah orang-orang yang telah membunuh anak-anak, membunuh Muslim, dan tidak ada alasan religius yang akan membenarkan dengan cara apa pun semua hal yang mereka lakukan.
Lalu ada Karen Armstrongs, seorang penulis asal Inggris yang menulis buku tentang agama-agama seperti Yudaisme, Kristen, Islam, dan Buddha, yang pada 2005 menolak untuk menyebut kekerasan yang diilhami Islam sebagai terorisme Islam.
Menurut pendapatnya, label terorisme Katolik tidak pernah digunakan tentang IRA atau Organisasi Tentara Republik Irlandia yang melakukan sejumlah serangan teror yang mematikan.
Menurut Fatah, Islam adalah agama yang mengharuskan pengikutnya berada dalam 'negara Islam' sebagai kompas moral mereka. Di sisi lain, Islamisme adalah penggunaan Islam sebagai alat politik dengan tujuan menciptakan 'Negara Islam', baik itu di Mosul atau Madinah, yang dibangun di atas wilayah Armenia, Yahudi, Hindu yang pernah dikalahkan.
Jika tidak bisa setuju untuk menyebut Muslim yang rentan terhadap teror dalam pengabdian mereka kepada Islam sebagai ‘terorisme Islam’ maka kita benar-benar tidak berdaya.
*Isi dari artikel ini bukan mewakili kebijakan redaksi Republika.co.id
Sumber: https://www.meforum.org/61841/who-will-utter-the-words-islamist-terrorism