Ahad 06 Dec 2020 05:57 WIB

Ternyata Larangan Hina Agama Dibenarkan Sarjana Barat

Sarjana Barat membenarkan larangan menghina agama di dunia

Muslim Inggris melakukan aksi protes menentang penayangan gambar kartun Nabi Muhammad SAW. (ilustrasi)
Foto:

Kenyataannya, kasus penodaan dalam arti penghinaan agama sudah banyak dibawa ke pangadilan atas dasar Pasal 156a KUHP. Misalkan kasus Antonius Rechmon Bawengan pada 2011 di Temanggung, Jateng, dan Tajul Muluk pada 2012 di Sampang, Madura.

Tajul Muluk dituduh melakukan penodaan agama dalam bentuk caci-maki terhadap sahabat sehingga menimbulkan kemarahan warga mayoritas yang notabene pengikut Suni. Namun, kasus penodaan dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama tidak mudah diselesaikan sesuai PNPS.

Pada saat ini, kasus penodaan agama dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama ini bisa diselesaikan melalui proses peradilan berdasarkan Pasal 156a KUHP, seperti kasus Jamaah Salamullah yang didirikan Lia Aminuddin, dan kasus al-Qiyadah al-Islamiyyah yang didirikan Ahmad Mushaddiq.

Hanya saja, banyak ormas Islam yang lebih suka menuntut pembubaran dan pelarangan Jemaat Ahmadiyah oleh presiden berdasarkan PNPS. Hal ini karena Ahmadiyah telah dinyatakan menyimpang oleh Liga Muslim Dunia (Rabithah al-‘Alam al-Islami) pada April 1974, dan oleh MUI pada 1980 yang dikuatkan kembali pada 2005.

Namun, karena pembubaran oleh presiden itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, pembubaran itu tidak dilakukan. Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (No 3 Tahun 2008, No KEP-033/A/JA/6/2008, No 199 Tahun 2008).

photo
Demo Tolak Ahmadiyah di Sawangan, Kota Depok, Jumat (31/1). - (dok. Istimewa)

SKB itu hanya memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran ajaran Ahamdiyah tentang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi serta peringatan kepada warga untuk tetap menjaga kerukunan. SKB itu juga mengandung pengertian, dalam ranah privat penganut Ahmadiyah bebas mengekspresikan keyakinannya, tetapi dalam ranah publik mereka tidak bebas.

Selain Ahmadiyah, sejumlah ormas menuntut pelarangan aliran Syiah. Namun Syiah ini berbeda dengan Ahmadiyah. Syiah diakui sah di dunia Islam, termasuk Arab Saudi yang dikenal sangat ketat dalam pemahaman agama. Di Arab Saudi terkadang muncul caci-maki terhadap sahabat, tetapi Syiah tidak dilarang dan cukup pelakunya dikenakan hukuman. Pemidanaan terhadap Tajul Muluk pun bukan karena Syiahnya, melainkan karena penodaan agama.

Karena dasar hukum antipenodaan agama dibuat di era pemerintahan yang tidak demokratis, ke depan diperlukan ketentuan kuat dengan tetap dalam koridor sistem demokrasi. Tindak pidana terhadap agama sudah masuk RUU KUHP, yakni Pasal 341-348. Ketentuan dalam pasal ini secara umum sudah cukup jelas. Hanya, rumusannya belum mencakup penodaan agama dalam arti penyimpangan dari pokok ajaran agama.

Tentu saja, ketentuan tentang “penyimpangan dari pokok ajaran agama” ini harus jelas agar tidak menimbulkan multitafsir. Dengan memasukkan ketentuan tentang hal ini, aliran yang menyimpang dari pokok ajaran agama dapat dilarang atau dibubarkan melalui pengadilan (bukan oleh presiden) setelah mendapatkan pertimbangan dari majelis agama tingkat nasional masing-masing agama.     

 

*Naskah ini tayang di Harian Republika, 2014

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement