REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dakwah hendaknya selalu dilaksanakan para ulama dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan berbagi argumentasi secara terpelajar.
“Karenanya keteladanan menjadi kebutuhan niscaya di dalam kegiatan dakwah. Keteladanan memudahkan orang-orang menangkap contoh berupa keseharian sang pelaku dakwah. Orang-orang yang tidak membaca Alquran, hadits nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab agama Islam akan membaca teladan para juru dakwah itu,” ujar Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, KH Mohammad Dian Nafi, Rabu (2/12).
Pria yang mengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muayyad Windan, Sukoharjo, menuturkan bahwa yang dilihat dan dibaca orang-orang adalah tutur kata, pola pikir, pola sikap, dan juga pilihan tindakannya sebagai pribadi dan tokoh masyarakat. Karena menurutnya para ulama atau juru dakwah ini juga hadir untuk mengisi kebutuhan masyarakat dalam lapis informasional, pergaulan, keilmuan dan keagamaan.
“Masyarakat sendiri mencermati, siapakah ulama yang menenteramkan dirinya untuk diikuti. Bahkan di banyak daerah ada keluarga ulama dari generasi ke generasi menjadi sandaran warga masyarakatnya juga dari generasi ke generasi mengikuti kultur sosial budaya masyarakat setempat,” kata Dian.
Oleh sebab itu, menurutnya dari situlah masyarakat menaruh kepercayaan kepada para ulama. Karena dalam berbagai peran di berbagai lingkup kehidupan, para ulama selalu memberikan suluh penerang di saat masyarakat butuh pencerahan. Menurutnya hal itu menempatkan dakwah para ulama sebagai bagian yang penting di dalam nation and character building (membangun bangsa dan karakter).
“Itulah sebabnya, maka dakwah juga berarti memperkuat sikap proaktif di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sikap proaktif diteladankan oleh para ulama dengan cara hidup menjadi warga negara yang baik,” tutur lulusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret itu.
Lebih lanjut, pria kelahiran Sragen, 4 April 1964 itu menyampaikan bahwa sebetulnya ada nilai-nilai yang dikembangkan oleh para ulama adalah tafahum atau saling memahami, tarahum atau saling menyayangi, tasamuh atau ramah kepada perbedaan, tawazun atau keseimbangan dan keselarasan, dan ta’adul atau saling menegakkan ukuran objektif dan keadilan.
“Sejarah bangsa kita memberikan pelajaran yang sangat berharga. Tantangan-tantangan berat dapat kita atasi dengan baik selama kita menjaga persatuan nasional. Umat Islam dapat menjadi teladan yang baik dalam urgensi itu dengan dukungan para ulama yang juga memberi keteladanan,” ucapnya.
Selain itu, peraih gelar master Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu juga menegaskan bahwa para ulama harusnya meneladankan untuk mendahulukan hal-hal terpenting di dalam dakwahnya. Misalnya, hal-hal yang wajib sebagai Muslim, sebagai warga masyarakat dan warga negara akan didahulukan. Kemudian hal-hal yang sunah atau anjuran dan utama.
“Para ulama hendaknya tidak memperuncing segi-segi khilafiyah atau polemik karena perbedaan pendapat. Kalaupun jika harus diutarakan sampaikan secara seimbang. Karena hal-hal yang rinci seperti itu mungkin dipahami berbeda-beda oleh para ulama dalam aneka pendapat atau qaul yang dibahas di dalam pertemuan terbatas dan itupun menggunakan rujukan kitab-kitab yang jelas,” jelasnya.
Kiai Dian yang juga Penasihat Keluarga Alumni FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta itu juga mengungkapkan bahwa dakwah haruslah menjaga kebersamaan itu. Orang merindukan kegiatan dakwah, karena dakwah membuat mereka rukun, termasuk dalam urusan kesejahteraan mereka. Maka menurutnya, dakwah tidak berisi pemaksaan kehendak, klaim kebenaran sepihak atau ajakan dengan kalimat kasar.
”Ini termasuk meluruskan kesesatan kaum radikal dan intoleran. Karena juru dakwah biasanya memulai dakwah setelah membekali diri dengan kecakapan keagamaan yang cukup. Sehingga, pandangan yang menyimpang, ekstrem dan mengarah kepada radikalisme dan terorisme dapat dicerdasi dan disikapi bersama-sama secara proporsional dan bijaksana,” ujarnya mengakhiri.