REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Segala hal yang terjadi pada manusia, baik terlihat atau tidak terlihat memiliki penjelasan dari sudut ilmiah, begitu juga dengan segala fenomena dalam pernikahan. Seperti halnya saat seseorang merasakan jatuh cinta yang sering dikaitkan dengan sebutan mabuk asmara.
Dr Muhammad John, SpKJ mengatakan, istilah mabuk asmara ini sejalan dengan kondisi saat jatuh cinta, dimana seseorang menjadi 'kecanduan' untuk memikirkan dan membayangkan si dia. Secara ilmiah, fenomena ini diakibatkan kelebihan zat dopamin, salah satu senyawa kimia organik dari keluarga katekolamin dan fenetilamina.
"Dopamin itu zat yang meningkatkan halusinasi, dan kecanduan dan bersifat membajak pikiran kita. Maka tidak aneh jika kita melihat seseorang sedang jatuh cinta seperti seorang yang mabuk atau kecanduan, karena dopamin telah membanjiri bagian budi luhur dan rasionalitasnya," jelas dr. John dalam Human Webinar, hasil kerjasama Muhammadiyah Covid-19 Command Center dengan UNICEF, Ahad (22/11).
Dalam webinar berjudul "Before he says, i accept marrying your daughter" itu, dr John juga menyinggung beberapa dilema pra-nikah yang sering dialami pasangan, seperti kekhawatiran, hingga ketakutan berlebih tentang berbagai konflik dan permasalahan yang akan dihadapi ketika membina rumah tangga.
"Maka perlu ada kesadaran bahwa setiap momen kehidupan pasti ada masalah, begitu juga momen pra-nikah, maka perlu disikapi secara dewasa dan realistis," ujarnya.
"Kepanikan itu sendiri diakibatkan kemunculan kortisol, hormon stres yang bisa membuat kita berkeyakinan tidak mampu menempuh rintangan di bahtera rumah tangga," sambungnya.
Permasalahan bukan hanya hadir saat masa pra-nikah, namun juga saat masa-masa adaptasi bagi pasangan baru. Setiap pasangan perlu memahami bahwa setiap orang memiliki perbedaan kepribadian dan watak yang dapat dipengaruhi dari internal maupun eksternal.
Ketika ingin mengarungi kehidupan pernikahan, setiap pasangan memerlukan bekal, yaitu pemahaman. Perlu dipahami bahwa lelaki dan perempuan berbeda dari sisi biologis, seperti porsi corpus callosum, penghubung jaringan otak kanan, berkaitan dengan emosional, dan otak kiri, berkaitan dengan logika.
Jadi ketika seseorang memiliki jumlah corpus callosum tinggi, maka akan muncul kemampuan multitasking, yang biasanya dimiliki oleh wanita. Sedangkan pria lebih banyak hanya mampu mono-tasking, fokus pada satu hal.
"Perbedaan inilah yang membuat tidak banyak lelaki yang mampu melakukan beberapa kegiatan dalam satu waktu, berbeda dengan wanita yang dapat melakukan beberapa kegiatan secara bersamaan," jelasnya.
Perlu diketahui pula bahwa pria memiliki hormon testosteron yang lebih tinggi dibanding wanita. Hormon ini bukan hanya menandakan bahwa pria memiliki hasrat seksualitas yang lebih tinggi dibanding perempuan, namun lelaki juga lebih mudah menurunkan hormon stres dibanding wanita.
Sedangkan wanita memiliki hormon estrogen yang mampu meningkatkan kebahagian, namun saat menstruasi, kadar estrogen menurun sehingga wanita menjadi lebih mudah depresi dan mood swing. "Jadi ketika memahami secara biologis, maka kita dapat lebih mudah memahami pasangan kita," ujarnya menambahkan.
Adapun hormon yang dihasilkan pasangan yang sudah menikah bukan lagi dopamin, namun oxytocin. Selain berfungsi untuk merangsang proses kontraksi pada dinding rahim dan mempermudah proses kelahiran, hormon yang juga disebut hormon cinta ini berfungsi untuk menciptakan rasa nyaman dan tenang. Oxytocin sangat perlu dijaga untuk menciptakan suasana rumah tangga yang damai.