REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong agar pihak keluarga dilibatkan dalam proses pemulasaraan jenazah yang dinyatakan terinfeksi virus Covid-19 dan diduga terinfeksi virus Covid-19. Keterlibatan tersebut diperlukan untuk memastikan proses pemulasaraan berjalan sesuai aturan syariat Islam.
"Ya memang seharusnya ada pihak keluarga yang dilibatkan dalam proses pemulasaraan. Karena mereka sebetulnya ingin menunaikan hak yang dimiliki jenazah Muslim. Tentunya keterlibatan ini dengan mentaati protokol Covid-19 yang ada," tutur Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa Sholahudin Al-Aiyub kepada Republika.co.id, Jumat (20/11).
Sholahudin menjelaskan, jenazah yang diduga terinfeksi Covid-19 artinya yaitu belum dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil uji usap. Namun jenazah tersebut melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19 dan dalam proses menunggu hasil uji usap sehingga tetap dimakamkan sesuai protokol Covid-19.
Sholahudin mengakui, masih ada kejadian di tengah masyarakat di mana mereka mengambil kembali jenazah positif Covid-19 yang telah dimakamkan. Dia menilai, kejadian itu karena masyarakat melihat jenazah tersebut belum mendapatkan haknya yang wajib dipenuhi oleh para Muslim di sekitarnya. Misalnya dalam memandikan jenazah.
Jenazah Muslim yang positif Covid-19 wajib dimandikan. Tata cara pertama yang harus dilakukan yaitu dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh tanpa harus membuka pakaian jenazah. Jika tata cara pertama ini tidak bisa dilakukan sesuai saran ahli, maka bisa diganti dengan men-tayamum-kan jenazah sesuai ketentuan syariah. Namun bila tidak memungkinkan sesuai pendapat ahli, maka jenazah tidak dimandikan atau ditayamumkan.
Selanjutnya yaitu mengafani lalu menshalatkan jenazah. Pelaksanaan shalat jenazah dilakukan oleh umat Islam secara langsung minimal satu orang. Bila tidak dimungkinkan maka bisa dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan. Namun jika tidak dimungkinkan, maka dilakukan shalat ghaib dari jauh. Tentunya orang-orang yang menshalatkan itu tetap mematuhi protokol kesehatan.
"Nah proses itu bertahap, berurutan. Artinya tidak bisa loncat (misalnya langsung dimakamkan tanpa melihat kemungkinan untuk bisa dimandikan). Ketika prosesnya diloncati, ini yang memunculkan persoalan bagi masyarakat, yang kemudian terjadi pengambilan paksa," tuturnya.
Pengambilan jenazah positif Covid-19, lanjut Sholahudin, terjadi di berbagai daerah dengan cukup masif. Dia memandang, kondisi demikian karena Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada saat ini belum memuat ketentuan syariat ihwal pemulasaraan jenazah.
Karena itu, Sholahudin mengatakan, MUI sejauh ini telah mendorong perubahan SOP pemulasaraan jenazah Covid-19 dengan memperhatikan ketentuan syariat dalam pengurusan jenazah Muslim. Selama ini pemulasaraan jenazah Muslim positif Covid-19 baru dijalankan di rumah sakit Islam. Sebab, rumah sakit Islam juga menggunakan pedoman pengurusan jenazah sebagaimana Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020.
Namun, Sholahudin mengakui, pedoman yang dibuat MUI itu cenderung sulit dilakukan di rumah sakit umum karena ada ketidakpahaman di kalangan pegawai medisnya. Untuk itu, MUI terus melakukan langkah sosialisasi ke berbagai rumah sakit soal pemulasaraan jenazah Muslim sesuai ketentuan syariat.
"Selain sosialisasi, kami juga sudah menyiapkan dan mengirimkan relawan-relawan ke rumah sakit di berbagai daerah untuk membantu proses pemulasaraan jenazah sesuai syariat," tutur dia.
Sholahudin pun setuju untuk melibatkan pihak keluarga dalam proses pemulasaraan jenazah. Dia memandang perlu pelibatan ini karena bagaimana pun, masyarakat sekitar hanya ingin menjalankan kewajibannya sebagai Muslim untuk memenuhi hak-hak jenazah.