REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, media berbahasa Inggris kerap bias terhadap Prancis. Dia menyebut pers mencirikan Prancis sebagai negara rasis yang melegitimasi kekerasan ekstrimis yang dihadapinya.
“Ketika Prancis diserang lima tahun lalu, setiap negara di dunia mendukung kami,” kata Macron kepada reporter New York Times, Ben Smith dalam wawancara eksklusif yang dikutip di The Hill, Selasa (17/11).
Macron menambahkan bahwa pers berbahasa Inggris kerap memaksakan nilai-nilainya sendiri pada masyarakat. Dia mengacu pada penembakan 2015 lalu di kantor pusat surat kabar mingguan satir Charlie Hebdo setelah menerbitkan penggambaran satir Nabi Muhammad, yang bertentangan dengan keyakinan Islam.
Serangan itu menimbulkan perdebatan tentang kebebasan berbicara dan sensitivitas agama. “Jadi ketika saya melihat, dalam konteks itu, beberapa surat kabar yang saya yakini berasal dari negara-negara yang berbagi nilai-nilai kita, negara pewaris Pencerahan dan Revolusi Prancis, menuduh kami melegitimasi kekerasan ini, dan mengatakan bahwa inti masalahnya adalah Prancis itu rasis dan Islamofobia, maka saya bisa katakan, nilai-nilai dasar kini telah hilang,” kata Macron.
Pada 16 Oktober, guru bahasa Prancis Samuel Paty dipenggal setelah menunjukkan kartun satir Charlie Hebdo di kelasnya. Macron membela langkah itu sebagai hak kebebasan berbicara, dan menyebabkan protes pecah di negara-negara mayoritas Muslim. Ribuan demonstran di Pakistan dan Lebanon berbaris untuk memprotes pernyataan Macron.
Setelah Paty terbunuh, Macron menanggapinya dengan menindak Muslim yang dituduh melakukan ekstremis dan melakukan penggerebekan. Tanggapannya telah menuai kritik dari para pemimpin dunia Muslim, dan berakhir dengan penyeruan boikot barang-barang Prancis.
Macron mengklaim bahwa media asing, termasuk dari Amerika Serikat, gagal memahami sekularisme Prancis. Baru-baru ini, Macron telah menyerukan diakhirinya 'separatisme Islamis' yang dianggap sebagai aturan yang diizinkan untuk mengesampingkan peraturan pemerintah dan masyarakat Prancis.