REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Analis yang juga dosen geopolitik di Universitas Athena, Ioannis E Kotoulas, menilai Turki di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan telah menetapkan perannya sebagai pemicu ideologis ketegangan antara elemen-elemen Islam dan Barat.
"Pemerintah Turki yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin Erdogan telah berada di garis depan ketegangan dengan Eropa dan sekarang bercita-cita menjadi pembawa standar ekstremisme Islam," kata Kotoulas dalam sebuah artikel di Algemeiner dilansir di Ahval News, Rabu (11/11).
Erdogan, pada hari-hari pertama sebagai kepala negara, dipuji para diplomat dan analis Barat atas potensinya sebagai seorang pemimpin yang dapat menggabungkan politik Islam dan demokrasi di negara dengan campuran etnis, agama, dan sosial yang kompleks.
Namun, keadaan telah berubah secara radikal saat Erdogan menggalang para Islamis dengan mempromosikan gagasan bahwa Eropa berperang dengan Islam. Terlebih Erdogan juga menyatakan niatnya untuk ikut campur di negara lain atas nama agama.
Erdoğan dan mitranya dari Prancis, Presiden Emmanuel Macron, terlibat dalam perang kata-kata setelah Macron mengatakan Islam adalah agama "dalam krisis" di seluruh dunia.
Erdogan meminta Turki untuk memboikot produk Prancis selama protes yang meningkat di dunia Muslim karena dukungan Prancis untuk karikatur Nabi Muhammad.
"Turki mencoba tampil sebagai pemimpin perlawanan Islam melawan 'imperialisme Barat' dan menuduh Barat tidak lagi merasa 'perlu untuk menutupi kebencian mereka terhadap Islam lagi'," kata Kotoulas.