REPUBLIKA.CO.ID, WINA – Langkah Presiden Dewan Eropa, Charles Michel pada Senin (9/11), menyerukan pembentukan lembaga Eropa melatih para imam sebagai cara untuk mengekang ujaran kebencian, dan mencegah terorisme, mendapat pertentangan.
Peneliti senior di Institute for Strategic Dialogue yang mengkhususkan diri dalam deradikalisasi, Rashad Ali, menilai pendekatan pemerintah yang mengendalikan wacana agama melalui para imam adalah kegagalan yang telah dicoba dan diuji di negara-negara mayoritas Muslim.
"Adalah satu hal untuk memutuskan hubungan politik dengan negara asing dan hal lain sama sekali dalam menciptakan seorang imam Eropa, dan menciptakan merek Islam yang tidak diperlukan mayoritas atau agama otentik," lanjut Ali.
Michel, berbicara di Wina, meyakini sekolah untuk para imam dapat membantu melawan ideologi ekstremis, ekstremisme kekerasan, pesan kebencian, pesan penolakan yang memberi makan tindakan teroris ini.
"Penting untuk bersikap tegas tentang ini," kata Michel pada konferensi pers dengan Kanselir Austria, Sebastian Kurz, dilansir dari laman Politico pada Selasa (10/11)
"Saya pikir, misalnya, kita harus berdebat di tingkat Eropa sehubungan dengan gagasan yang dikemukakan beberapa waktu lalu tentang mendirikan lembaga Eropa untuk pelatihan para imam, untuk memastikan pesan toleransi dan keterbukaan ini dapat disampaikan di tingkat Eropa," lanjutnya.
Dia menambahkan, tujuannya harus menciptakan penerimaan untuk keunggulan hukum sipil, dan membentuk rasa saling menghormati pada nilai-nilai umum dan demokrasi.
Gagasan serupa melatih para imam juga digaungkan di Jerman dan Prancis di tengah kekhawatiran pengaruh asing. Namun, ada pertanyaan tentang bagaimana model seperti itu akan berhasil dalam praktiknya, karena otoritas agama mungkin enggan dilatih oleh pemerintah sekuler.
Proposal itu muncul menjelang konferensi video pada Selasa (10/11) antara Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, serta Michel dan Kurz, yang berencana untuk membahas jawaban Eropa atas ancaman terorisme.
Michel juga menuntut agar Uni Eropa (UE) menindak pendanaan asing bagi organisasi keagamaan yang memobilisasi untuk membangkitkan kebencian. Selain itu, proposal legislatif UE diharapkan berkontribusi untuk menghapus pesan radikal di internet.
"Sangat mengejutkan bagi warga kami untuk melihat pesan internet pemuliaan atau seruan kebencian yang disimpan selama berhari-hari, selama berpekan-pekan, kami harus dapat menghapus konten ini dengan sangat cepat, yang tidak selalu terjadi saat ini," kata Michel.
Kurz mengatakan, UE perlu melakukan perjuangan bersama melawan politik Islam, melawan ideologi di balik agresi terhadap masyarakat dan cara hidup Barat. Dia memberikan dukungan untuk proposal Michel.
"Tidak membantu melawan hanya melawan teroris dan memulai hanya dengan kekerasan itu sendiri, tapi kita harus bereaksi lebih awal ketika harus menghentikan aliran pembayaran, menghentikan perkataan yang mendorong kebencian dan melawan ideologi ini," ucap Kurz.
Kurz juga menuntut agar ada pengawasan yang lebih baik terhadap pejuang teroris asing, yang telah kembali dari zona perang ke Eropa.
"Kita harus sadar bahwa kita memiliki ribuan pejuang teroris asing yang tinggal di masyarakat kita di Eropa. Dengan kata lain, orang-orang yang telah membuat keputusan sadar untuk memerangi, memperkosa atau membunuh untuk (ISIS) atau organisasi teroris lainnya di tempat lain di dunia," ucap Kurz. "Ini adalah bom waktu, ancaman keamanan besar-besaran bagi kami di Uni Eropa," kata dia.