REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara | Sejarawan
JAKARTA -- Muhammadiyah sudah lama dikenal sebagai organisasi modernis besar yang mengelola banyak amal usaha di seluruh Indonesia. Amal usaha itu mencakup berbagai lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, serta fasilitas kesehatan seperti klinik dan rumah sakit.
Murid KH Ahmad Dahlan, KH Sudja’, adalah pelopor dalam usaha Muhammadiyah menyediakan akses kesehatan bagi umum. Atas inisiatifnya, klinik dan poliklinik Muhammadiyah, yang diberi nama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), dibangun di Kampung Jagang Notoprajan, Yogyakarta pada 15 Februari 1923.
Selama beberapa dekade setelahnya hingga kini, klinik ini tak hanya bertahan, tapi bahkan bertransformasi menjadi lembaga pelayanan kesehatan yang mapan dan berpengaruh. Dari klinik dan poliklinik inilah kemudian muncul apa yang sekarang dikenal sebagai RS PKU Muhammadiyah. Sebuah data survei dari tahun 2005 menyebut ada kurang lebih 345 amal usaha Muhammadiyah yang mengurusi soal kesehatan di seantero Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan di atas, klinik dan poliklinik Muhammadiyah lahir pada tahun 1923, yang secara periodisasi sejarah masuk ke masa Hindia Belanda. Klinik dan poliklinik Muhammadiyah memiliki peranan dalam menyediakan fasilitas kesehatan bagi kaum dhuafa dan publik yang membutuhkan.
Gerakan semacam ini tak hanya menarik pasien dari kalangan pribumi, tapi juga menarik minat orang-orang Belanda di Jawa. Ini tidaklah mengherankan. Kala itu, hanya tiga pihak yang sanggup mengusahakan pelayanan kesehatan dalam bentuk modern: pemerintah kolonial, kalangan Katolik, dan kalangan Protestan. Kaum Muslim umumnya masih mengandalkan pengobatan secara tradisional, khususnya dengan pergi ke dukun.