Selasa 03 Nov 2020 09:17 WIB

Beirut, Kota Koeksistensi Damai

Religiusitas dan sekulerisme berdampingan tanpa tedeng aling-aling di Beirut.

Beirut, Kota Koeksistensi Damai. Salah satu sudut Kota Beirut.
Foto:

Paradoks antara kebebasan dan sektarian

Menariknya adalah antara yang religious yang berwatak sektarian dan yang sekuler yang berkarakter liberal, kesemuanya di Beirut dapat hidup berdampingan dalam kedamaian: koeksistensi damai! Hidup berdampingan dalam perbedaan. Bukan hanya menerima perbedaan, tetapi dapat hidup dalam perbedaan dengan tetap merasa nyaman (relax) dan penuh kenyamanan (convenience). Saya mengamati dari kedekatan mereka tidak risau dengan orang lain yang berbeda keimanan, bahkan yang tidak beriman sekalipun.

Sependek dan sedangkal pengamatan ini, saya bisa melihat segi positifnya: penghargaan kepada kebebasan dan perbedaan. Saya tidak melihat adanya usaha-usaha yang tidak sehat untuk merubah keyakinan, paham, madzhab, aliran, manhaj, atau apapun namanya, dari pihak lain. Alih-alih memandang keyakinan masing-masing sebagai urusan privat. Yang Sunni tidak perlu berupaya merubah yang Syii untuk menjadi ahlu sunni atas nama pelurusan, penyadaran, dakwah, atau apapun namanya. Demikian juga halnya pihak Nasrani tidak merasa perlu mengubah keyakinan pihak lainnya. Demikian juga pihak sekte-sekte yang lainnya terhadap sekte lainnya yang berbeda. Ada pluralisme internal sebagaimana juga eksternal.

Sampai di sini memang agak aneh, anakronistik, atau malah paradoksal: di satu pihak negara menyatakan dirinya sekuler dan masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi, tapi di pihak lain alih-alih malah ada penegasan bahwa negara menganut sistem politik konfessional yang membagi kekuasaan politik berdasarkan pengakuan sekte. Negara mengakui eksistensi 18 sekte agama dengan segala keistimewaan sosial politiknya masing-masing. Tidak beragama diperbolehkan, tetapi seseorang tetap saja dianggap sebagai telah membawa sekte bawaan sejak lahinya. Sungguh sebuah paradoks yang sangat menarik.

Sampai di sini sepertinya memang ada paradoks antara kebebasan dan sistem sektarianisme itu. Di satu sisi mereka sangat menjunjung tinggi, bahkan mengagungkan kebebasan (freedom), tetapi di sisi lain mereka menyepakati sistem politik confessionalisme, yakni sistem di mana pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan sekte. Di satu pihak mereka sangat menjunjung tinggi pluralisme dalam semangat koeksistensi, bahkan sangat berbangga dengan slogan: “Lebanon is more than a country, it is a message of freedom and an example of pluralism for East and West”, tetapi, benar atau salah, ada kecenderungan dipertahankannya status quo kota-kota yang satu warna.

 

Padahal pesan tersebut di atas dipajang di banyak prasasti rasaksa dalam tiga Bahasa (Bahasa Arab: لبنان اكثر من وطن، إنه رسالة, dan bahasa Perancis: “Le Leban eat plus qu’un pays c’est un message”). Dengan untaian kata-kata indah yang telah menjadi motto atau jargon tersebut, orang Lebanon seolah-olah ingin mengatakannya ke seluruh penjuru dunia tentang pluralism dan koeksistensi damai. Tetapi, meski peta demografi agama atau sekte di kota-kota Lebanon lainnya belum paralel dengan substansi motto yang indah itu, untungnya di kota Beirut jargon itu sudah relatif menjadi kenyataan. Ya, sudahlah! Semoga saja ke depan akan terwujud lebih baik lagi.

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement