Selasa 03 Nov 2020 09:17 WIB

Beirut, Kota Koeksistensi Damai

Religiusitas dan sekulerisme berdampingan tanpa tedeng aling-aling di Beirut.

Beirut, Kota Koeksistensi Damai. Salah satu sudut Kota Beirut.
Foto:

Dalam konteks dan perspektif di mana kota-kota lain di Lebanon yang cenderung “segregatif” tersebut, Beirut relatif bisa disebut menjadi simbol pluralisme dan multikulturalisme. Dikatakan relatif oleh karena kota Beirut sebagai kota metropolitan sebenarnya juga belum terintegrasi sepenuhnya.

Tetapi secara keseluruhan Beirut lebih terbuka dan majemuk dan karena itu bisa dikatakan cukup untuk menjadi simbol dari semangat keterbukaan dan kemajemukan di mana orang dari berbagai latar belakang sekte yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai dan sangat mengesankan. Beirut adalah the city of co-existency

Di Beirut, terutama di bulan Ramadhan, penuh semarak dengan lampu-lampu lampion menyambut Ramadhan dan Iedul Fitri. Dalam liburan Paskah yang berhari-hari dan Natal kota Beirut diselimuti dengan suasana Kristiani: suasana keagamaan yang kudus yang membahagiakan semua orang.

Pada bulan Muharram, apalagi di hari-hari Asyura, Lebanon penuh dengan bendera-bendera hitam simbol perayaan hari besar Syi’i. Hari Asyura, adalah hari libur nasional untuk memperingati pembunuhan Imam Husein yang brutal di Padang Karbala.

Tepat pada hari Asyura (10 Muharram) di mana-mana di seluruh penjuru kota, terutama di kawasan Asyrafiyeh, pawai-pawai masal berseragam hitam terus berjalan dengan teriakan-teriakan, yel-yel dan slogan-slogan yang sangat bersemangat dan membahana. Di Beirut suara adzan yang merdu dan lonceng gereja yang bertalu-talu, ditingkahi suara konser musik Arab yang mendayu-dayu, begitu mewarnai suasana kehidupan kota metropolitan Beirut.

Masjid dan gereja berdiri berdampingan. Seperti tampak antara Masjid Muhammad Amin yang sangat indah nan megah dan Gereja Katedral Saint George yang arsitekturnya bernilai seni tinggi nan anggun itu. Kedua tempat ibadah yang berdampingan dan gagah berwibawa itu berada di Sahatu al-Syuhada atau Martyr Square, yang sangat strategis di downtown kota Beirut.

Pemandangan suasana Sholat tarwih di masjid-masjid di bulan Ramadhan di kawasan downtown, Beirut, berdampingan dengan gereja dan restoran, kafe, dan tempat-tempat hiburan atau malah kehidupan malam, adalah pemandangan yang biasa di malam hari. Meski di bulan Ramadhan sekalipun.

Jadi bukan saja harmoni antar Islam dengan banyak alirannya dan Kristen dengan banyak sektenya pula, melainkan juga hidup berdampingan dengan sekulerisme yang begitu terus terang tanpa tedeng aling-aling. Apalagi pada musim panas yang dimulai pada bulan Juni, Beirut dan kota-kota besar lainnya di Lebanon mulai marak dengan konser-konser musik, festival kesenian, dan pertunjukan-pertunjukan budaya lainnya yang begitu kaya.

Biasanya digelar di luar Gedung (outdoor) dan selalu sangat meriah dan berskala masif. Dengan sound system bagus dan lighting yang mengundang decak kagum, masyarakat Lebanon memang terkesan masyarakat yang gila pesta, konser dan festival. Kesemua agenda kesenian tersebut juga digelar di teater peninggalan Romawi Timur (Roman theater), di pantai-pantai, di reruntuhan (ruin) Temple Buccus di Balbeek yang besar sekali itu, di Byblos, Tyre, dan lain-lainnya.

Apalagi perayaan tahun baru di Beirut selalu digelar secara luar biasa sehingga sangat terkenal di seluruh dunia. Mungkin perayaan tahun baru di Lebanon di satu sisi sebagai paling boros di dunia, tapi di sisi lain keindahaan dan kesemarakannya begitu fenomenalnya sampai-sampai beberapa kali Beirut mendapatkan penghargaan masuk ke dalam The Top 10 Best New Year’s Eve Celebrations dari majalah National Geographic.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement