REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada sebuah ungkapan terkenal yang sering dikaitkan dengan Albert Einstein. ''Jika lebah menghilang dari muka Bumi, manusia hanya punya waktu empat tahun untuk hidup.'' Benar atau tidaknya perkataan itu keluar dari mulut Einstein, inti kalimat itu menegaskan peran penting lebah dalam siklus kehidupan di Bumi.
Sebagai seorang peternak lebah, Mark Hohn tentu sangat paham makna kalimat itu. Karena itu, betapa terkejutnya dia ketika pulang dari liburan mendapati lebah-lebah yang dibiakkan di dekat rumahnya mati.
Namun, Hohn yang tinggal di wilayah pinggiran Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat, awalnya tak begitu penasaran pada kematian lebah-lebah yang bangkainya berserakan di lahan seluas setengah hektare itu. Dia hanya mengambil alat penyemprot dedaunan kering dan membersihkan semuanya.
Butuh beberapa hari baginya untuk menyadari bahwa kemungkinan lebah-lebahnya mati karena sebab yang aneh. Dia mengingat bahwa di antara lebah-lebah piaraannya itu ada yang menunjukkan kelakuan tak wajar. Tak seperti lebah sehat yang pada malam hari berdiam di dalam sarangnya, saat hari gelap lebah-lebah Hohn justru terbang gentayangan tanpa arah pasti sampai akhirnya mereka tewas.
Lampu-lampu di dalam tokonya juga telah menarik perhatian lebah yang cenderung berkerumun di dekat cahaya, mirip kelakuan serangga malam. Lalu, mereka beterbangan di sekitar lampu secara tak beraturan dalam pola acak sampai akhirnya berjatuhan di lantai.
Hohn pun mengingat sebuah kasus yang terjadi beberapa tahun lalu mengenai lebah yang diiinvasi oleh 'makhluk asing'. Dia lalu mengumpulkan beberapa lebah yang mati ke dalam kantung plastik. Sepekan kemudian, akhirnya dia mempunyai bukti kuat bahwa lebahnya terinfeksi pupa lalat parasit. Inilah kejadian pertama infeksi lalat parasit pada lebah di negara bagian Washington.
Kasus infeksi parasit pada lebah pertama kali ditemukan oleh ahli biologi Universitas Negeri San Francisco, John Hafernik, pada 2008 lalu di Kalifornia. Pola infeksinya demikian. Seekor lalat betina yang kecil mendarat di punggung lebah dewasa. Dengan opivositor yang setajam jarum, lalat betina buas itu menyuntikkan telur ke dalam abdomen lebah. Di dalam tubuh lebah, telur menetas menjadi belatung atau larva. ''Pada dasarnya, mereka memakan bagian tubuh lebah sampai akhirnya keluar,'' kata Hafernik.
Siklus hidup lalat parasit itu mirip adegan dalam film Aliens ketika larva monster dari planet lain masuk ke tubuh manusia untuk berbiak sambil memangsa organ. Namun, di mata Hohn, skenarionya lebih mirip film zombie, manusia terinfeksi virus yang menyebabkan mereka mati, tapi tetap bisa bergerak-gerak tak keruan, seperti yang terjadi pada lebahnya. ''Saya mencandai anak-anak saya dengan mengatakan bahwa kiamat zombie telah dimulai dari rumah saya,'' kata Hohn seperti dikutip The Seattle Times beberapa waktu lalu.
Setelah memakan inangnya, larva kemudian berkembang menjadi pupa, membentuk selubung luar yang keras yang mirip seperti butir beras gemuk berwarna cokelat. Itulah yang ditemukan Hohn dalam kantong plastik yang berisi bangkai-bangkai lebah itu. Kini, Hohn masih menunggu munculnya fase berikutnya. Dalam tiga sampai empat pekan kemudian, pupa akan berkembang menjadi lalat dewasa yang siap terbang.
Pelakunya adalah lalat yang dikenal dengan nama Apocephalus borealis atau scuttle fly, merupakan serangga yang sering dijumpai di berbagai wilayah Amerika Utara dari Pantai Barat sampai Pantai Timur. Namun, sampai Hafernik dan siswa-siswanya menemukan bangkai lebah di laboratoriumnya di San Francisco mati empat tahun lalu, lalat cokelat itu tak pernah diketahui pernah menginfeksi lebah, hanya sekadar serangga terbang biasa.
Penurunan populasi
Fenomena alam ini tak bisa dipandang remeh. Kasus yang menimpa peternakan lebah Hohn membuktikan bahwa infeksi telur lalat itu bisa menghancurkan satu koloni lebah dalam waktu singkat. Padahal, lebah sangat dibutuhkan sebagai agen penyerbukan pada bunga berbagai tanaman, termasuk tanaman pertanian.
Dalam beberapa tahun ini, populasi lebah di Amerika telah menurun drastis karena penyebab misterius yang oleh para ahli disebut sebagai gangguan keruntuhan koloni (colony collapse disorder/CCD), yaitu kondisi ketika para lebah dewasa dalam satu koloni bertumbangan mati mendadak. Fenomena ini mulai dirasakan pada 2006 ketika para peternak lebah di Amerika mulai melaporkan angka kematian lebah mencapai 30-90 persen. Hal yang sama juga dilaporkan di Eropa dengan angka kematian lebah mencapai lebih dari 50 persen.
Sampai kini, ilmuwan di Amerika memang belum bisa membuktikan bahwa fenomena lebah zombie akibat infeksi lalat parasit merupakan kontributor utama dalam penurunan drastis populasi lebah di negeri itu. Analisis awal oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 2010 menyimpulkan bahwa pada populasi lebah terkena CCD ditemukan dalam kadar tinggi berupa virus, bakteri patogen, pestisida, dan parasit.
Setelah meneliti bangkai lebah milik Hohn, Ketua Departemen Entomologi di Universitas Negeri Washington Steve Sheppard meyakini bahwa faktor lalat parasit ini tak bisa dipandang remeh. Dia meyakini, parasit ini akan terus mencari inang-inang baru sebagai korban berikutnya. ''Kejadian ini bisa muncul lebih luas dari yang kita yakini selama ini,'' kata Sheppard memberi peringatan.
Pemikiran itulah yang juga mendorong Hafernik untuk merekrut banyak sukarelawan di berbagai negara bagian segera setelah penemuan pertama kasus lebah zombie atau terinfeksi aliens itu. Para relawan itu membantunya memonitor infeksi pupa lalat pada lebah di seluruh Amerika lewat situs zoombeewatch.org, situs yang mengawasi fenomena 'lebah zombie'. Sejak itu, para pengamat telah menemukan fenomena lebah zombie di Oregon dan South Dakota.
Dikhawatirkan, fenomena kematian lebah ini telah menyebar ke berbagai negara bagian. Di Washington, hal itu telah dimulai dari rumah Hohn di Kent, suburban Seattle. Hohn pun meyakininya. ''Saya sangat yakin bahwa saya bukan satu-satunya di negara bagian Washington yang pernah mengalami hal ini. Saya tak tahu sejauh apa bahayanya, tapi ini mengerikan,'' kata dia.