Sabtu 31 Oct 2020 14:58 WIB

Hinaan terhadap Islam dan Teror di Prancis, Kapan Berakhir?

Hinaan terhadap Islam beriringan dengan teror yang muncul di Prancis

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Polisi Prancis berjaga di dekat Gereja Notre Dame di Nice, selatan Prancis, Kamis, 29 Oktober. Presiden Prancis Emmanuel Macron menambah hingga 7.000 tentara untuk berjaga usai serangan pisau yang menewasakn tiga orang, Kamis.
Foto:

Serangan teror terbaru terjadi setelah majalah tersebut menerbitkan ulang karikatur Nabi SAW pada awal September 2020, ketika persidangan tersangka kaki tangan dalam serangan 2015 dimulai. 

Macron memilih untuk membela karikatur Nabi SAW dan media tersebut. "Tidak pernah menjadi tempat seorang presiden republik untuk memberikan penilaian atas pilihan editorial jurnalis atau ruang redaksi, tidak pernah, karena kami memiliki kebebasan pers," kata Macron pada saat kartun Nabi SAW diterbitkan ulang.

Kartun yang sama lantas diperlihatkan di kelas oleh guru bernama Samuel Paty. Hingga kemudian terjadi insiden pemenggalan terhadap Paty oleh seorang remaja ekstremis. Serangan lain muncul di luar kantor lama Charlie Hebdo, yang menyasar dua orang korban. Selanjutnya, terjadi penyerangan dengan pisau di sebuah gereja di kota Nice, yang menewaskan tiga orang.

Foley mengatakan, metode serangan mereka (ekstremis) itu mengerikan. Menurutnya, pemenggalan di gereja sangat simbolis dan dirancang agar membuat Prancis merespon.

"Itulah yang dilakukan pemerintah Prancis, menanggapi secara tidak proporsional terhadap potensi ancaman. Serangan-serangan ini masih mengerikan, tetapi tingkatnya rendah dibandingkan dengan apa yang terjadi pada 2015. Tetapi pemerintah Prancis ingin mengubahnya menjadi hal yang besar. Macron tampaknya ingin menekankan hal-hal ini, tentang kebebasan berbicara dan tidak ingin mundur," ujar Foley.

photo
Police officers stand guard near Notre Dame church in Nice, southern France, Thursday, Oct. 29, 2020. An attacker armed with a knife killed at least three people at a church in the Mediterranean city of Nice, prompting the prime minister to announce that France was raising its security alert status to the highest level. It was the third attack in two months in France amid a growing furor in the Muslim world over caricatures of the Prophet Muhammad that were re-published by the satirical newspaper Charlie Hebdo. (AP Photo/Daniel Cole) - (AP/Daniel Cole)

Serangan teror demikian disebut menular. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Conflict Management and Peace Science, misalnya, menemukan bahwa sekali satu serangan terjadi, sebuah 'lokasi fisik' dibuat dengan kemungkinan serangan lebih lanjut. Para ahli sangat ingin memperingatkan Prancis agar tidak mengambil tindakan apapun yang terlalu kejam saat ketegangan meningkat.

Profesor Fionnuala Ni Aolain, pelapor khusus PBB untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia serta melawan terorisme, mengatakan bahwa tanggapan di Prancis tidak benar-benar berhasil dan berfungsi untuk mencegah siklus kekerasan dan mengatasi kondisi yang kondusif bagi produksi kekerasan itu. 

Ia memiliki bukti tandingan bahwa tindakan di Prancis ini meningkatkan kekerasan dan keterasingan pusat komunitas ini untuk memperbaiki masalah.

"Salah satu warisan pasca 9/11 adalah gagasan bahwa 'lebih banyak adalah lebih banyak' dalam skenario ini. Lebih banyak tidak lebih, kita harus tahu ini. Kuncinya di sini adalah melibatkan komunitas, para korban, tentu, tetapi komunitas Muslim adalah mitra terbaik Anda untuk memperbaikinya," katanya.

Para pemimpin Muslim di Prancis sebenarnya dengan segera menyerukan persatuan dan kerukunan. Namun, serangan balasan telah dimulai. Misalnya, dengan adanya insiden seorang pria ditembak mati setelah mengancam orang dengan pistol di Avignon, Prancis tenggara.

Awalnya dilaporkan secara keliru bahwa ia juga meneriakkan "Allahu Akbar", tetapi ternyata mengenakan pakaian yang menunjukkan logo "Pertahankan Eropa", yang mengacu pada operasi anti-pengungsi yang dilakukan kelompok nasionalis kulit putih pan-Eropa, Generation Identity atau Generation Identitaire dalam bahasa Prancis.

Namun, kelompok itu membantah bahwa ia adalah anggotanya dan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari teror dan kekerasan dan mengikuti prinsip aktivisme tanpa kekerasan. 

Tidak bisa diprediksikan kapan ketegangan yang meningkat di Prancis akan berakhir. Namun, para pejabat berharap perang melawan Islamis itu tidak akan memunculkan konflik lebih banyak lagi.

"Jika langkah-langkah ini benar-benar tidak berhasil, maka diperlukan kecakapan politik yang berbeda, visi yang berbeda tentang bagaimana Anda terlibat dalam kekerasan dan bagaimana Anda melibatkan komunitas tersebut untuk menjadi mitra Anda dalam mengakhiri. Sulit untuk melihatnya saat ini, tetapi ya, saya pikir itu mungkin," kata Ni Aolain. 

 

Sumber: https://www.newsweek.com/more-terror-attacks-inevitable-france-war-islamists-continues-1543653?piano_t=1  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement