REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seiring dengan langkah Prancis yang menyatakan 'perang melawan Islamis' berlanjut, lebih banyak serangan teror pun tak terelakkan terjadi di negara itu.
Setelah insiden pemenggalan terhadap seorang guru di Prancis karena mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW di kelas, dua pekan kemudian terjadi aksi penyerangan di sebuah gereja di Nice, Prancis. Insiden itu menewaskan tiga orang, dengan satu wanita digorok lehernya dengan pisau. Pelaku kemudian ditembak oleh polisi.
Rentetan insiden yang disebut pemerintah Prancis 'serangan terorisme Islam' itu kian memperburuk ketegangan antara Prancis dan komunitas Muslim. Prancis secara terbuka menyatakan perangnya melawan ideologi Islam radikal.
"Kami sedang berperang melawan musuh yang ada di dalam dan di luar. Kita perlu memahami bahwa telah dan akan ada peristiwa lain seperti serangan mengerikan ini," kata Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, kepada radio RTL, dilansir di Newsweek, Sabtu (31/10).
Baru-baru ini, Prancis meningkatkan upayanya, dengan seruan jelas untuk regulasi media sosial dan memperkenalkan undang-undang nasional khusus untuk memerangi Islam radikal. Tidak hanya itu, pemerintah setempat juga menutup masjid dan mengusulkan untuk melarang sejumlah kelompok Muslim yang dianggap ekstrim oleh pihak berwenang. Menurut Darmanin, langkah itu dilakukan untuk mempertahankan negara sekuler Prancis dari campur tangan agama apapun.
Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron semakin menambah ketegangan dengan dunia Muslim. Ia menegaskan bahwa Prancis tengah diserang. Dengan meningkatnya ketegangan, ia juga memperingatkan tentang peningkatan kekerasan.
Pada 2015, setelah majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, menerbitkan karikatur Nabi Muhammad, terjadi setidaknya 36 serangan teror di negara itu dan menewaskan 161 orang.
Dosen senior hubungan internasional di King's College, London, Frank Foley, mengatakan bahwa suhu politik tengah meningkat dan tanggapan pemerintah Prancis adalah bagian dari itu.
"Pendekatan ekspansif dalam menangani Islam radikal, dengan definisi yang sangat luas, hasilnya tidak terlalu baik. Masalah ekstremisme Prancis seburuk yang pernah terjadi sebelumnya," kata Foley.
Ketegangan semakin diperburuk negara-negara mayoritas Muslim yang menyebut Prancis telah melampaui batas dengan tanggapannya terhadap ekstremisme.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, misalnya, menyebut Macron tengah menyerang Islam dan dengan sengaja memprovokasi Muslim serta mendorong Islamofobia.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan pemboikotan terhadap barang-barang Prancis. Erdogan menyebut Macron harus memeriksakan kesehatan mentalnya karena pidatonya tentang Islamisme radikal.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad tidak ketinggalan merespons sikap pemerintah Prancis. Ia mengatakan, Muslim memiliki hak untuk marah dan membunuh jutaan orang Prancis, sebab dalam sejarahnya Prancis telah membunuh jutaan orang di masa lalu.
Prancis memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di Eropa Barat, dengan sekitar 5 juta atau antara 9 dan 10 persen dari populasi. Namun, Prancis bersikap lebih keras terhadap Muslim dengan melarang jilbab dan simbol agama yang dinilai mencolok di sekolah dan kantor publik pada 2004. Selanjutnya, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang niqab dan burka, penutup wajah penuh untuk wanita, pada 2011.
Peningkatan ketegangan antara pemerintah dan komunitas Muslim di Prancis memang bukan hal baru dan telah berakar sejak abad pertengahan. Namun, kondisi demikian kian terlihat ketika pada 2006, majalah Charlie Hebro menerbitkan kartun Nabi Muhammad, dan diikuti serangan teror di kantornya pada 2015.