REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Warga AS yang lahir di Yerusalem akan diizinkan mencantumkan Israel sebagai tempat kelahiran mereka di paspor dan dokumen lainnya. Kebijakan ini diumumkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Kamis (29/10) waktu setempat, dilansir di Middle East Eye, Jumat (30/10).
Pompeo mengatakan, keputusan itu sejalan dengan apa yang diumumkan Presiden AS Donald Trump pada 2017. Gedung Putih saat itu membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Seperti yang dinyatakan Presiden dalam proklamasinya, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pusat pemerintahannya, tetapi tidak mengambil posisi di perbatasan kedaulatan Israel di Yerusalem," kata dia.
Sebab untuk masalah tersebut, tetap tunduk pada status akhir negosiasi antara kedua pihak. Namun, kebijakan pencantuman Israel sebagai tempat lahir bagi warga AS yang lahir di Yerusalem disebut untuk menopang dukungan bagi Presiden Donald Trump di antara orang-orang Kristen evangelis dan pendukung Israel lainnya hanya beberapa hari sebelum pemilihan 3 November.
Israel merebut dan menduduki Yerusalem Timur dalam Perang Timur Tengah 1967 bersama dengan seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza, wilayah yang dicari Palestina sebagai bagian dari negara masa depan mereka. Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota bersatu, abadi, sementara Palestina menginginkan ibu kota mereka sendiri di Yerusalem Timur.
Komunitas internasional telah menyatakan status Yerusalem harus disepakati dalam penyelesaian antara Israel dan Palestina, dan 128 negara mengutuk keputusan AS dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB pada akhir 2018. Sejak Trump bertempat tinggal di Gedung Putih pada Januari 2017, AS telah berulang kali mempromosikan kepentingan Israel dengan mengorbankan Palestina.
Awal tahun ini, Trump meluncurkan apa yang disebut "kesepakatan abad ini" untuk menangani konflik Israel-Palestina. Para penentang menganggapnya sebagai pengalihan atas pencaplokan pemukiman Israel yang dianggap ilegal di Tepi Barat yang diduduki, serta petak Lembah Yordania yang strategis.
Rencana itu juga menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan menolak hak warga Palestina kembali ke rumah leluhur mereka di tempat yang sekarang disebut Israel. Aneksasi wilayah pendudukan adalah ilegal di bawah hukum internasional, dan Palestina sangat menolak kesepakatan itu.