Kamis 29 Oct 2020 17:36 WIB

Macron atau Islam yang Krisis? Sejarah Justru Berkata Lain 

Sejarah membuktikan justru krisislah yang tengah dihadapi Macron

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Sejarah membuktikan justru krisislah yang tengah dihadapi Presiden Prancis Emmanuel Macron
Foto:

Hanya beberapa bulan lalu, Prancis akhirnya setuju untuk mengirim kembali ke Aljazair, 24 tengkorak pejuang Aljazair anti-kolonial abad ke-19. Di antaranya seorang pemimpin perlawanan, Sheikh Bouzian, yang ditembak dan dipenggal Prancis.

Tengkoraknya tersebut awalnya dibawa ke Prancis sebagai piala dan kemudian dipajang di Museum Nasional Sejarah Alam Prancis. Jika menelisik sejarah tersebut, maka tidak ada keraguan bahwa bayangan panjang sejarah kolonial Prancis selama satu abad itu, hingga hari ini masih ada dan tertanam.

Aljazair memperoleh kemerdekaan dari Prancis pada 1962 setelah perang berdarah selama tujuh tahun, yang menurut pemerintah Aljazair menewaskan satu juta orang Aljazair.

Jika menelisik makin jauh ke masa lalu yang memalukan ini, maka akan terkuak sejarah pengabaian dan marginalisasi Muslim Aljazair-Prancis. Banyak dari mereka, hidup sebagai warga negara kelas dua di banlieues (pembangunan perumahan berpenghasilan rendah di pinggiran kota-kota Prancis, terutama Paris) tanpa harapan mobilitas sosial atau pernah dianggap sebagai orang Prancis sepenuhnya, meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Prancis sebagai imigran generasi kedua atau ketiga. 

Pada 2017, Presiden Macron menggambarkan kolonialisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Serta setelah serangan teror di masjid di Christchurch, Macron bergabung dengan Perdana Menteri Selandia Baru dalam mengutuk kebencian dan radikalisasi daring. 

"Ini semua baik dan bagus, tetapi jika Macron benar-benar serius untuk mengekang ekstremisme di negaranya, maka dia juga harus melihat ekstremisme kemiskinan, pengangguran, dan marginalisasi yang dialami Muslim di Prancis, apakah mereka orang Aljazair, Chechnya, atau lainnya," ujar Mojab. 

photo
Bunga diletakkan di depan sekolah menengah (perguruan tinggi) selama mars berjaga, dijuluki Marche Blanche (White March) untuk menghormati guru Samuel Paty yang dibunuh di Conflans Saint-Honorine, dekat Paris, Prancis, 20 Oktober 2020. (EPA-EFE / JULIEN DE ROSA)

Pada Juni lalu, kelompok-kelompok Aljazair dan Chechnya secara terbuka saling bertarung di Dijon selama beberapa malam berturut-turut, mengacungkan kapak dan senjata api.  

Artinya, ujar Mojab, jika terjadi krisis di Prancis, itu tidak semata-mata disebabkan dari Islam seperti yang dikatakan Macron. Melainkan, hal ini berasal dari masa kolonial negara itu, dan krisisnya sendiri tentang ketidaksetaraan yang dalam dan rasisme struktural yang selama beberapa dekade, telah membuat generasi Muslim di Prancis merasa terhina, terpinggirkan, dan tidak memiliki tempat untuk ditinggali. 

Karenanya, pidato Presiden Macron sebagai tanggapan atas pembunuhan keji dan proyeksi kartun kontroversial Nabi Muhammad di gedung-gedung pemerintah, hanya akan menyulut api perpecahan. Banyak negara Muslim, yang tersinggung oleh pernyataan Macron tentang Islam, ini berbuntut pada seruan memboikot seluruh produk berlabel Prancis.

"Di saat-saat krisis, para pemimpin sejati (biasanya) mendorong persatuan dan toleransi seperti yang dilakukan Perdana Menteri kita setelah serangan masjid di Christchurch. Dia melakukannya dengan mengutuk keras teroris, tetapi juga dengan mengakui adanya rasisme di Selandia Baru dan kebutuhan untuk menanganinya sebagai sebuah bangsa," ucap Mojab.

Jika saja Macron benar-benar berkomitmen pada kebebasan berekspresi di Prancis, tambah Mojab, harus bisa mempertimbangkan untuk membatalkan larangan penutup wajah atau cadar bagi umat Muslim Prancis. Adapun serangan teroris yang terus menerus terjadi di Prancis, solusinya adalah menciptakan kesetaraan.

"Solusinya mengatasi ketidaksetaraan yang mengerikan, mengakhiri stigmatisasi Muslim dan memperkuat institusi agama, sehingga pemuda Muslim dapat tetap berlabuh dan terhubung dengan komunitas mereka yang saleh dan cinta damai, alih-alih bergabung dengan geng dan kelompok ekstremis," tegas Mojab.   

 

Sumber:  https://i.stuff.co.nz/national/politics/opinion/300144015/islam-is-not-in-crisis-france-is 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement