Senin 26 Oct 2020 08:16 WIB

Reaksi Prancis Soal Boikot dari Negara Berpenduduk Muslim

Sejumlah negara Muslim menyerukan boikot produk Prancis.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Reaksi Prancis Soal Boikot dari Negara Berpenduduk Muslim. Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron menyampaikan pidato untuk mempresentasikan strateginya untuk melawan separatisme di Les Mureaux, di luar Paris, 02 Oktober 2020.
Foto: EPA-EFE/LUDOVIC MARIN
Reaksi Prancis Soal Boikot dari Negara Berpenduduk Muslim. Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron menyampaikan pidato untuk mempresentasikan strateginya untuk melawan separatisme di Les Mureaux, di luar Paris, 02 Oktober 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kementerian Luar Negeri Prancis pada Ahad (26/10), menyatakan seruan boikot produk Prancis di beberapa negara Muslim tidak berdasar dan harus dihentikan. Hal itu disampaikan setelah pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron terkait Islam, yang disampaikan usai pemenggalan seorang guru.

"Di beberapa negara di Timur Tengah dalam beberapa hari terakhir, ada seruan untuk boikot produk Prancis, terutama produk pertanian, serta seruan yang lebih umum untuk demonstrasi melawan Prancis, kadang-kadang dibuat dengan ekspresi kebencian, yang disiarkan di jejaring sosial," sebut juru bicara kementerian dalam sebuah pernyataan, dilansir dari laman Sputnik News pada Senin (26/10).

Baca Juga

Seruan itu muncul setelah masalah terorisme Islam mendapatkan momentum baru di Prancis, dengan Macron mengutuk pembunuhan guru sejarah, Samuel Paty. Guru tersebut dibunuh di pinggiran kota Paris oleh seorang pria berusia 18 tahun keturunan Chechnya, setelah Paty mendemonstrasikan beberapa kartun satir Nabi Muhammad kepada murid-muridnya. Gambar tersebut dia tampilkan selama pelajaran tentang kebebasan berbicara, dan kebebasan hati nurani.

Tersangka lahir di Moskow, kemudian pindah ke Prancis dan diberi status pengungsi di sana. Dia ditembak mati oleh petugas polisi pada hari yang sama, dengan penyelidikan pembunuhan brutal sekarang berjalan lancar.

 

Macron segera mempertimbangkan untuk menjuluki insiden ganas itu sebagai sebagai serangan teroris. Dia menugaskan pemerintahnya untuk melakukan langkah-langkah untuk membasmi ancaman Islam, dan memperketat keamanan di sekolah, di antara langkah-langkah lainnya.

Macron menyampaikan, Prancis tidak akan pernah meninggalkan karikatur dan selanjutnya akan membela kebebasan yang dipromosikan oleh guru yang terbunuh itu.

 

Sebelumnya, High Council of State (HCS) atau Dewan Tinggi Negara Libya telah menyerukan penghentian hubungan ekonomi dengan perusahaan Prancis, dan membatalkan kontrak Total Prancis untuk mengoperasikan ladang minyak Waha Marathon.

Dalam sebuah pernyataan pada Ahad (25/10), HCS menyatakan Presidential Council of the Government of National Accord atau pihak eksekutif harus menanggapi penghinaan yang dibuat oleh Prancis terhadap Nabi Muhammad ﷺ dengan mengakhiri hubungan dan bekerja dengan perusahaan Prancis. Mereka mendesak otoritas kehakiman untuk memberikan putusan akhir tentang Banding HCS terhadap perusahaan minyak Prancis Total.

Sementara, boikot tersebut juga sudah berlangsung di Kuwait dan Qatar. Beberapa postingan di media sosial menunjukkan, para pekerja mengeluarkan keju olahan Kiri dan Babybel Prancis dari rak supermarket di Kuwait. Pekan Budaya Prancis, yang merupakan acara tahunan Prancis-Qatar, juga dikabarkan akan ditunda tanpa batas waktu.

Di Doha, para pekerja di jaringan supermarket Al Meera mulai mengeluarkan selai St Dalfour buatan Prancis dan ragi Saf-Instant dari rak mereka. Al Meera bersaing dengan jaringan supermarket Prancis, Monoprix dan Carrefour untuk mendapatkan pangsa pasar di sektor grosir Qatar yang menguntungkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement