REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kenyataan hidup sehari-hari, tak sedikit kita temukan saudara-saudara kita yang melampaui batas dalam berdoa. Untuk hal-hal tertentu, dengan harapan agar ajaran Islam tetap terjaga, sering kita dengar mereka berdoa sambil memerintah Tuhan.
Doa yang mestinya syahdu, menyentuh, sublim, dipenuhi derai air mata ketulusan, berubah menjadi untaian kata-kata kasar dan cenderung berisi adu domba. Doa yang harusnya ibadah malah menjelma ajang kemarahan dan dendam.
Maka, jamak kita dengar doa berbunyi perintah kepada Allah agar segera menghancurkan kekukufuran, kemusyrikan, dan bid'ah. Padahal, inilah hidup, yang isinya memang ada keimanan dan kekufuran, tauhid dan kemusyrikan, syariat, dan bid'ah.
Allah juga memberi dua jalan (wahadaynaa hunnajdain) kepada semua makhluk hidup untuk memilih. Beriman adalah pilihah dan kufur juga pilihan. Semua pilihan mengandung konsekuensi-konsekuensi.
Maka, biarlah perkara penghancuran kekufuran dan kemusyrikan itu tetap berada di wilayah kewenangan Allah sehingga kita tak perlu lagi “main perintah” dengan menggunakan kata perintah (fiil amr), ahlikil kafarota wal musyrikin kepada Allah SWT.
Kewajiban kita menjauhi kemungkaran dan menganjurkan amar makruf. Bahkan, Allah menekankan posisi Nabi Muhammad SAW bukan sebagai pemaksa tegaknya kebaikan hingga Allah mewanti-wanti lasta ‘alayhim bimushoitirin.
Doa tidak untuk membinasakan. Doa bukan untuk menghancurkan. Doa tidak untuk membuat kerusakan. Untaian kata-kata yang diharap membuat kebinasaan, kehancuran, dan kerusakan biasanya disebut jampi, kutuk, dan laknat.
Doa sama sekali jauh dari jampi, bukan kutukan, apalagi laknatan. Nabi Muhammad tidak pernah kita dengar pernah melakukan itu. Nabi bahkan melarang jampi, kutukan, serta laknatan. Bahkan, terhadap mereka yang mencederainya, Nabi menolak membalas.
عن أبي هُرَيْرَة رضي الله عنه قال: قيل: يا رسول الله؛ ادعُ الله على المشركين، فقال: «إنِّي لم أُبعَثْ عَذَابًا، إنَّما بُعثتُ رحمةً».
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata, “Sahabat meminta kepada Rasulullah agar mendoakan binasa orang-orang musyrik. Lantas Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya aku diutus tidak untuk siksa, sesungguhnya aku diutus untuk rahmat.” (HR Imam Muslim)
Padahal, malaikat menawarkan andai Nabi mau, Gunung Taif akan dihunjamkan untuk membalas mereka yang menyakiti beliau saat berdakwah di Lembah Taif. Tapi, Nabi tidak melakukan itu. Nabi yakin mereka menolak ajakan kepada Allah SWT karena mereka tidak tahu dan tidak menyadari kebenaran, bukan karena menentang, apalagi mengingkarinya. Terbukti, tak lama setelah itu, Islam menyebar dengan masif di kawasan tersebut hingga sampai ke Madinah.
Saat itu, Nabi berdoa agar Allah SWT memberi mereka hidayah. Mereka menolak ajakan kepada Islam, begitu diyakini Nabi, karena tidak tahu. Nabi sangat sadar posisi sebagai rasul dan nabi yang tugasnya “hanya” tabligh alias menyampaikan kebenaran Allah.
Soal apakah mereka akan dapat hidayat setelah ajakan dan seruan, itu semata kewenangan Allah. Allah yang memutuskan doa akan diijabah saat itu juga, ditunda, atau diakhirkan hingga di akhirat kelak.
*Naskah ini bagian artikel almarhum KH Hasyim Muzadi yang tayang di Harian Republika.