REPUBLIKA.CO.ID, Paradigma Islam berbeda dengan, misalnya, Marxisme. Dalam paham tersebut, kesadaran kelas merupakan hal yang penting. Pertentangan antarkelas terjadi sedemikian rupa sehingga kelas buruh mengalahkan atau bahkan meniadakan kelas borjuis.
Semua itu lantaran Marxis menilai kesadaran manusia ditentukan kondisi-kondisi materiilnya. Sebaliknya, dalam Islam, seseorang bisa saja menjadi person yang berkemajuan (baca:beriman) dalam kemelaratan.
Karena itu, bagi Kuntowijoyo, Islam tidak mengenal kelas-kelas sosial, meskipun mengakui kelas sosial dalam ranah pembahasan kepentingan-kepenting an di tengah masyarakat. Secara tegas, Islam juga menolak konsep pertentangan kelas.
Paradigma pengilmuan Islam menarik dari Alquran konsep tentang mustadh'afin untuk kemudian kaum Muslim menjalankan misi politiknya, tanpa memandang apakah orang-orang teraniaya itu ada di kelas buruh atau kelas borjuis. (Tentu saja biasanya terdapat di kelas buruh.) Dengan pengilmuan Islam, orang non-Islam pun dapat menikmati perjuangan pembebasan kaum teraniaya tanpa mesti mengimani Alquran dan sunnah.
Beranjak dari pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menawarkan strukturalisme transendental sebagai cara untuk menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam Alquran dan sunnah pada konteks sosial masa kini. Strukturalisme merupakan satu wacana yang berkembang dalam percakapan filsafat Barat, uta manya sejak 1970-an.
Menurut strukturalisme umumnya, realitas dan dunia dapat dipahami sebagai sebuah struktur. Struktur didefinisikan sebagai sesuatu yang memiliki tiga ciri, yakni keseluruhan, kemampuan berubah bentuk (transformasi), dan mengatur diri-sendiri (self-regu lation). Bagi Kuntowijoyo, Islam adalah suatu struktur karena memenuhi tiga karakteristik tersebut.
Ciri keseluruhan disebabkan bahwa struktur terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain. Dalam Islam, lanjut Kuntowijoyo, unsur-unsur itu adalah lima Rukun Islam. Islam juga mengalami transformasi. Awalnya, Islam ber kembang di Mekkah kemudian berkembang ke luar Arab hingga, antara lain, Indonesia.
Ciri self-regulation terjamin karena orisinalitas kalamullah dan keteladanan Nabi SAW. Sehingga, tradisi-tradisi pengambilan hukum dalam Islam di sepanjang sejarah dapat berubah tetapi sumbernya tetap berpusat ke Alquran dan sunnah.
Menurut Kuntowijoyo, strukturalisme transendental akan berguna untuk menyadari totalitas Islam dalam menghadapi perubahan-perubahan di sepanjang sejarah. Soal terbesar bagi Islam ialah bagaimana mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah.
Untuk itu, dalam buku Muslim tanpa Masjid, Kuntowijoyo mengatkaan, kaum Muslim sedikitnya memerlukan kesadaran kolektif-sejarah dan kesadaran akan perlunya objektivikasi.
Kesadaran kolektif, lanjut Kunto wijoyo, mengedepankan persatuan lantaran kesamaan kepentingan. Dia menyajikan contoh di bidang politik. Sebagian umat Islam ada yang terdepan dalam mengupayakan penguatan daya masyarakat madani. Namun, di saat yang sama sebagian Muslim ada pula yang secara konservatif mendukung status quo atau penguasa otoriter.
Adapun kesadaran perlunya objektivikasi itu adalah pengilmuan Islam, yakni upaya menerjemahkan konsep-konsep normatif dari teks Alquran dan Sunnah agar menjadi rumusan-rumusan yang objektif yang dapat dinikmati baik Muslim maupun non-Muslim.