REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Komisi Kerajaan Arab Saudi untuk AI Ula (RCU) mengumumkan, saat ini tahap akhir dari proyek restorasi masjid berusia ratusan tahun di negara itu, yakni Haman Bin Yunus dan Al Zawiyah sedang dilaksanakan. Selama lebih dari 800 tahun, dua masjid ini menjadi titik perhentian bagi jamaah yang melaksanakan ibadah haji dan umroh di Makkah.
Masjid Haman Bin Yunus dan Al Zawiyah berlokasi tepatnya di area Kota Tua Al Ula. Rumah ibadah bagi umat Muslim ini juga terletak di dekat rute perdagangan rempah-rempah kuno dan dupa, hingga kemudian ditinggalkan pada awal 1980-an.
Saat ini, Kota Tua Al Ula sedang menjalani upaya restorasi dan konservasi oleh RCU sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk berbagi dan merayakan lebih dari 200 ribu tahun warisan manusia dengan dunia saat kota ini bersiap untuk dibuka kembali untuk pariwisata, yang dijadwalkan mulai bulan depan. Warisan ini termasuk makam Nabataean di Hegra, situs bertuliskan Warisan Dunia UNESCO pertama Arab Saudi.
“Dari situs pemakaman prasejarah hingga tempat canggih Maraya, dan dari Kerajaan pra-Islam Dadan dan Lihyan hingga Kota Tua Islam, kami bersemangat untuk merayakan dan berbagi oasis budaya yaitu Al Ula dengan dunia,” ujar Abdulrahman AlSuhaibani, Konsultan Arkeologi dan Warisan di RCU, dilansir Salaam Gateway.
Menurut Al Suhaibani, saat menjelajahi dan membuat penemuan baru, RCU berkomitmen melindungi dan melestarikan sejarah yang luar biasa untuk kepentingan penduduk dan pengunjung. Ia juga mengatakan kedua masjid tersebut dahulu sangat penting bagi komunitas dan berharap dapat menyatukan semua orang.
RCU mengumumkan akan berkomitmen bekerja dengan standar terbaik internasional dalam restorasi dan konservasi. Tim juga bekerja sama dengan para ahli dan komunitas AlUla untuk tidak hanya memulihkan masjid dan situs lain, tetapi juga untuk lebih memahami teknik bangunan tradisional yang awalnya digunakan.
Berdasarkan penelitian arkeologi dan perbincangan dengan masyarakat, RCU dan mitranya telah mampu melakukan restorasi dengan menggunakan metode dan bahan tradisional. Dalam merestorasi atap masjid, tim restorasi menggunakan balok kayu tamariska yang bersumber dari lokal, yang kemudian dilapisi dengan ranting daun lontar (jarid) dan anyaman daun lontar (hassir). Elemen terakhir dari jerami dan batu bata lumpur di atas memberikan perlindungan yang ringan dan akurat secara historis terhadap elemen.
Penggunaan teknik tradisional yang serupa diperluas ke restorasi dinding dan lantai masjid, dari mana beton dan plester modern dihilangkan dengan hati-hati, memungkinkan batu bata di bawahnya dipelajari dengan cermat. Plester lumpur tradisional kemudian diaplikasikan dengan tangan dengan cara kuno dengan terlebih dahulu melemparkan bola-bola lumpur ke dinding selama waktu teduh pada siang hari untuk mencegah pengeringan, kemudian dihaluskan dengan perataan kayu.