Senin 12 Oct 2020 18:30 WIB

Catatan Santri atas UU Ciptaker: 2 Sisi Mata Pisau?

Kalangan santri memberikan catatan terhadap UU Ciptaker.

Kalangan santri memberikan catatan terhadap UU Ciptaker. ilustrasi ruu ciptaker
Foto:

photo
ilustrasi ruu ciptaker - (ANTARA/Bayu Pratama S)

 

Keberpihakan UU Ciptaker pada pasar berdampak buruk pada buruh. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja merusak spirit UU Ketenagakerjaan yang mengatur PKWT. Ketentuan baru UU Ciptaker memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. Pemerintah tega melegalkan aturan semacam itu.  

Diperparah lagi oleh Pasal 79 ayat (2) huruf (b), dimana pekerja hanya diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Sementara Pasal 79 menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja,  walau telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Hanya demi kapitalis, rakyat kecil dikorbankan.  

Ketidakberpihakan lain UU Ciptaker ini terlihat juga terkait hak penyandang disabilitas. Peneliti yang juga akademikus Pendidikan Luar Biasa dari Universitas Brawijaya, Slamet Thohari, mengatakan aturan dalam UU Cipta Kerja bertabrakan dengan UU Kerja Disabilitas dan mengembalikan posisi penyandang disabilitas seperti 20 tahun lalu.   

Pertama, ketentuan mengenai pemenuhan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam UU Cipta Kerja hanya didefinisikan sebagai pembangunan infrastruktur, bukan penyediaan aksesibilitas sesuai kebutuhan ragam disabilitas.   

Misalnya pembangunan ramp dan penyediaan hand railing saja, tidak ada penyediaan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu atau tuli dan tidak ada pembaca layar bagi penyandang disabilitas netra. 

Kedua, penyediaan fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti yang tercantum dalam Pasal 29 UU Peyandang Disabilitas, hanya diwajibkan bagi rumah sakit saja. Sementara untuk perusahaan tidak ada kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas.  

Ketiga, banyak pasal yang menyebutkan kriteria pekerja atau pemimpin perusahaan harus sehat jasmani rohani. Ini ibarat penghinaan secara legal atas penyandang disabilitas.  

Walau demikian, sisi positif UU Cipta Kerja ini juga memberikan terobosan yang luar biasa bagi pelaku usaha. Salah satunya berupa aturan terkait pajak deviden nol persen. Dengan adanya aturan deviden bebas pajak, investor diyakininya akan menginvestasikan uangnya ke Indonesia. Uang itu akan berputar di Indonesia, dan malah akan membuat produktif.   

Pendirian usaha mikro, kecil menengah (UMKM) juga dapat angin segar. Karena Pamerintah mencoba melakukan perubahan dari sistem ketenagakerjaan dari yang rigit ke jalan tengah. Salah satunya pasal-pasal yang memudahkan usaha risiko kecil untuk langsung bekerja dan memulai usahanya, tanpa harus memikirkan izin usaha.   

Dalam konteks ini, Pemerintah bisa diacungi jempol. Para pengangguran ditantang untuk kreatif dan menciptakan usaha terobosan, tanpa harus jadi buruh. Namun begitu, kekurangan terbesar UU Ciptaker ini tidak mengatur pasal-pasal yang memudahkan UMKM mendapatkan dana usaha dari perbankan. 

 

 

*Pangasuh PP Baitul Kilmah Bantul dan Pengajar di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement