REPUBLIKA.CO.ID, Pakar sejarah Melayu Prof Naquib al-Attas mengkritik pendapat para orientalis yang berusaha menggambarkan bahwa kebangkitan rasionalitas Melayu baru terjadi setelah masuknya penjajah dari tamadun Barat.
Al-Attas menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah Kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago/kedatangan Islam dilihat dari perspektif zaman modern… adalah peristiwa paling penting dalam sejarah Nusantara).
Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar di dunia Islam. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, [Kuala Lumpur, 1993]).
Oleh sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional.
Al-Attas mencatat masalah ini:“Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the pro cess towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay- Indonesian Archipalego” (“Bersama dengan faktor sejarah, faktor agama dan bahasa mulai menggerakkan proses menuju kesadaran nasional. Kesimpulan logis dari proses inilah yang menciptakan evolusi sebagian besar Nusantara menjadi bangsa Indonesia modern dengan bahasa Melayu sebagai bahasa nasionalnya… Datangnya Islam merupakan permulaan periode baru dalam sejarah Melayu- Indonesia Archipalego) ”(Ibid, 178).
Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung, 1990).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. “… anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita.” (ibid, hal. 40-41).
Komitmen untuk menegakkan paham ahlus sunnah wal jamaah di alam Melayu menjadi sangat mendasar sebab akidah menentukan pola pikir dan pengembangan suatu bangsa atau peradaban. Peradaban yang dibangun di atas landasan tauhid akan sangat berbeda coraknya dengan peradaban yang mengutamakan nilai-nilai materialisme dan sekulerisme.
Peradaban semacam ini akan mengarahkan masyarakat berperilaku dan berpola hidup seperti binatang yang tujuan hidupnya hanya untuk mengejar pemuasan syahwat, bukan untuk mengejar kebahagiaan yang hakiki dengan bertaqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
*Naskah bagian dari artikel Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika pada 2013.