Ahad 27 Sep 2020 08:44 WIB

Kaum Kiri, Ulama, Umat Islam: Akhir Peristiwa Tiga Daerah

Kedudukan Ulama dan Umat Islam pada Peristiwa Tiga Daerah.

Suasana jalan raya kota Tegal 1940-an. (universiteitleiden.nl/KITLV)
Foto:

Ketika revolusi sosial meletus, golongan Islam merupakan salah satu kekuatan sosial yang ikut berperan didalamnya. Mereka menyokong revolusi dengan sepenuh hati.

Namun ketika revolusi mulai menyimpang dari arah yang sebenarnya, dengan tindakan-tindaknnya yang radikal dsan menghina umat Islam, maka umat Islam di Tiga Daerah menyadari kekeliruanya. Maka, dengan serta merta mereka menarik diri dan bahkan berdiri sebagai elit tandingan, bahu membahu bersama TKR dan Muhammadiyah dan berhasil menghentikan pemrintah revolusioner.

Ketika revolusi masih merupakan gerakan murni rakyat, golongan Islam bersama-sama dengan rakyat dan pemuda turut melakukan aksi pendaulatan terhadap pangreh praja yang korupsi itu. Kaum ulama biasanya berperan sebagai pembatas emosional penduduk.

Artinya apabila masyarakat melakukan aksi pendaulatan dan pembagian kekayaan pangreh praja yang didaulatnya, maka kaum ulama berperan sebagai pengawas agar barang-barang yang dibagikan hanya barang-barang yang diduga hasil korupsi dan mencegah tindak sewenang-wenang rakyat.

Di daerah-daerah yang didominasi golongan Islam, baiasanya penggantian lurah relatif berlangsungdengan tertib, sepeti misalnya yang terjadi di Tanjung, Kersana, Losari, Banjarharjo, Bumiayu, dan Salem. Di Kecamatan Salem, hampir semua lurah diganti sampai ke RT-RTnya. Sedangkan penggantinya hamper seratus persen dsari golongan Islam Nasionalis, karena kecamatan Salem seluruh masyarakatnya menganut agama Islam.

Bagaimanakah golongan Islam nasionalis dan golongan kiri saling bereaksi pada masa itu. Pada mulanya, Islam nasionalis bersedia bekerjasama dengan kaum kiri dalam mempertahankan kemerdeakaan Indonesia dan kaum komunis menganggap kekuatan Islam dapat diajak bekerja sama.

Dalam kenyataannya penderitaan rakyat telah mempersatukan semua golongan di pedesaan. Di desa-desa, kelompok NU mendapat tekanan ekonomi, sedangkan santri melarat di kota kabupaten tidak dapat masuk sekolah Belanda karena tidak mempunyai modal.

Golongan Islam nasionalis K. H. Abu Suja’I dan kyai-kyai desa bersenyawa dengan rakyat melarat di kota maupun di desa, bahkan lebih bersenyawa jika dibandingakan dengan badan-bandan pekerja atau GBP3D-nya golongan kiri. Sedangkan Muhammadiyah, seperti halnya bupati Brebes K. H. Syatori lebih dekat pada golongan atas, priyayi atau pangreh praja. Golongan Muhammadiyah tidak terganggu denagan adanya modal asing di karesidenan pekalongan sebelum perang dan mereka masih dapat mempertahankan status ekonominya di masa pendudukan Jepang.

Pada masa revolusi, golongan Muhammadiyah kurang dapat memahami bahwa masalah kemiskinan santri-santri di Tiga daerah itu erat hubungannya dengan masalah yang dimiliki oleh kaum revolusioner di Tiga Daerah.

Pemanfaatan golongan Islam oleh kelompok kiri lebih jelas lagi dengan adanya pengangkatan bupati-bupati baru yang berasal dari golongan Islam oleh Badan Pekerja di Brebes dan Tegal. K. H. Syatori diangkat sebagai Bupati Tegal.

Sebenarnya pengangkatan itu dimaksudkan agar golongan islam terus memberi simpati terhadap pemerintahan revolusioner. Pemegang peranan sebenarnya dalam pemreintahan adalah tetap Badan Pekerja. Tugas Bupati semata-mata hanyalah menandatangani keputusan-keputusan yang dibuat oleh Badan Pekerja.

Oleh sebab itulah golongan kiri merasa perlu adanya kerjasama denagan golongan nasionalis Islam. Sebagian kaum radikal memandang bahwa pengangkatan bupati-bupati dan kepala daerah dari kelompok Islam, akan menghindari pertentangan antara kaum kiri dan Islam.

Namun ketika pemerintahan revolusioner berdiri pada tanggal 11 Desember 1945, golongan Islam mulai sadar bahwa gerakan yang mereka lakukan amat membahayakan negara. Sebenarnya, tujuan utama perjuangan kemerdekaan menurut golongan Islam adalah bersatu dalam menghadapai kembalinya tentara Belanda. Namun ternyata balas dendam telah menggantikan tujuan perjuangan, karena siapa saja yang sebelumnya dianggap membantu kolonial dibunuh.

Perlakuan kasar yang dilakukan oleh pasukan pengawal Tiga Daerah terhadap masyarakat menimbulkan rasa muak golongan Islam, karena tindakannya yang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh kolonial Jepang.

Pada tanggal 13 Desember 1945, golongan Islam menuntut pembubaran pemerintahan revolusioner. Tekad kelompok Islam didukung sepenuhnya oleh TKR Pekalongan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat para pemimpin TKR kebanyakan berasal dari ulama Islam. Fenomena inilah yang menyeret pemerintahan revolusioner ke tiang gantungan sejarah, yang hanya bertahan beberapa hari saja setelah pembentukannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement