Kamis 24 Sep 2020 18:54 WIB

Dari Raden Hidayat ke Ki Bagus Hadikusumo

Ki Bagus Hadikusumo berperan dalam perumusan dasar negara Pancasila.

Dari Raden Hidayat ke Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus Hadikusumo
Foto:

Mengapa memilih nama Jawa?

Pertanyaannya –ini pertanyaan antropologis– adalah mengapa Hidayat berganti nama menjadi KI Bagus Hadikusumo? Padahal dalam satu keluarga Haji Hasyim nama-nama semua putra-putrinya menggunakan nama-nama Arab-Islam.

Memang di antara mereka banyak juga yang berganti nama, tetapi tetap saja nama barunya adalah nama-nama Arab Islam. Lihat saja dua saudaranya yang lain: H. Fachrodin nama aslinya sebelumnya adalah Jazuli; dan Mohammad Soedja’ nama aslinya Daniel atau Danayel. Dari Arab diubah menjadi Arab lagi. Ki Bagus tidak demikian: dari Arab menjadi Jawa!

Maka melihat namanya yang baru yang sangat mencerminkan priyayi Jawa, Ki Bagus Hadikusuomo, ada sesuatu yang secara antropologis berdimensi sangat penting dalam diri beliau. Tidak mustahil dimensi yang saya maksudkan terbut adalah bersifat ideologis.

Apalagi jika diperhatikan penggunaan nama “Ki” yang ada kesamaannya dengan nama-nama atau gelar tokoh-tokoh yang berpengaruh, penguasa daerah-daerah istimewa tertentu dan sangat legendaris. Juga seperti nama dalang, punakawan, dan belakangan gelar yang dipakai orang-orang dan tokoh Perguruan Taman Siswa.

Ki Bagus Hadikusumo memang penampilannya sangat Jawa. Bahkan pakaian formalnya adalah busana tradisional Jawa lengkap dengan iket kepala atau blangkon. Ketika Ki Bagus diundang penguasa bala tantara Jepang untuk Bersama Bung Karno dan Bung Hatta berkunjung ke Tokyo bertemu Kaisar Jepang, Ki Bagus tetap mengenakan pakaian kebesaran Jawa tersebut.

Berbeda dengan Sukarno dan Hatta yang mengenakan pakaian jas lengkap ala orang Barat Eropa. Jadi Ki Bagus lebih Jawa daripada Bung Karno, dan lebih indigenous daripada Hatta.

Maklum Ki Bagus pecinta sastra Jawa. Beliau belajar sastra Jawa pada R. Ng. Sosrosoegondo yang notabene juga penulis buku Judhagama. R. Soesrosoegondo, guru pada Kweekschool (Sekolah Keguruan), juga menulis buku Bausastra Bahasa Jawi, adalah ayah dari Ir. Soeratin, pendiri dan Ketua Umum PSSI pertama. Soeratin adalah adik ipar dr. Soetomo, simpatisan Muhammadiyah yang juga pendiri Boedi Oetomo. Soeratin menikah dengan R.A. Srie Woelan, adik kandung Dokter Soetomo, pendiri Budi Utomo tersebut.

Walhasil, Muhammadiyah awal itu sangat Jawa! Fenomena seperti ini juga tampak sekali dalam sejarah perkembangan Muhammadiyah di kota Solo yang tokoh-tokoh pendirinya, selain Haji Misbach dan Haji Dasuki, memiliki nama-nama Jawa: R. Ng. Sastrosugondo, Darsasmito, Harsolumakso, Sontohartono,  R. Wignyodisastro, Wiryosandjojo (ayahnya dr. Soekiman dan dr. Satiman), R.Ng. S. Hadiwiyoto, dan agak sedikit belakangan Siswosudarmo, Mulyadi Djojomartono (pernah menjadi Menteri Sosial RI),  Surono Wiroharjono (pimpinan majalah adil), dan lainnya. Fenomena ini relatif umum di berbagai wilayah Jawa.

Muhammadiyah memang reformis, tapi jauh dari kesan kearab-araban. Bahkan sangat Jawa. Ini menarik sekali! Saya pernah mendapatkan kiriman video pawai besar-besaran dalam rangka Milad Muhammadiyah Kota Gede, Yogyakarta, tahun 1925 dari Mas Sukriyanto AR, putra Pak AR. Fachruddin, Sebagian besar peserta pawai pria mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan ikat dan blangkon-nya. Dan jalannya arak-arakan tersebut diiringi gamelan Jawa dengan gending Lir-Ilir Tandure Wus Sumilir. Jawa banget!

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/09/23/dari-raden-hidayat-ke-ki-bagus-hadikusumo/

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement