REPUBLIKA.CO.ID, Di antara negara penerima sokongan ekonomi, militer, dan diplomatik dari Amerika Serikat (AS), Israel menempati posisi yang unik. Negara ini selalu dicitrakan media massa Barat sebagai "korban terorisme".
Padahal, menurut Prof Edward S Herman, guru besar Pennsylvania University, menyatakan, tidak diragukan lagi, negara Yahudi ini telah melakukan berbagai aksi terorisme pada level negara.
Terorisme Israel di Timur Tengah, sebenarnya sangat telanjang. Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di wilayah konflik ini adalah yang berlangsung di Deir Yassin, 9 April 1948. Deir Yassin merupakan wilayah yang menurut resolusi PBB dinyatakan sebagai zona internasional karena posisinya yang termasuk dalam wilayah Yerusalem.
Dalam persitiwa Deir Yassin, terjadi pembantaian besar-besaran, yang menelan korban 254 orang, yang sebagian besar warga sipil, wanita, dan anak-anak serta orang tua. Pembantaian ini dilakukan pasukan Irgun Zvai Leumi yang dipimpin Menachem Begin. Dalam bukunya, The Revolt, Begin menulis bahwa seandainya tidak ada peristiwa tersebut (Deir Yassin), tentu tidak akan pernah berdiri negara Israel.
Ariel Sharon, yang pernah menjabat sebagai PM Israel, juga dikenal sebagai teroris sejati. Ia dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam tragedi Sabra-Shatila yang menewaskan 2000 lebih pengungsi Palestina.
Saat menjabat sebagai menteri pertahanan Israel pada 1982, Sharon mengerahkan 90 ribu tentara Israel ke Lebanon, yang didukung oleh 1200 truk pasukan, 1300 tank, dan 634 pesawat tempur. Dengan seluruh kekuatan tersebut, hanya dalam waktu seminggu, 200 ribu rakyat Lebanon kehilangan tempat tinggal dan sekitar 20 ribu orang terluka dan terbunuh.
Sementara itu, pada 1953, Sharon membentuk satuan khusus 101 yang para anggotanya dijuluki sebagai setan, karena sangat biadab dalam melakukan pembantaian. Pada 14 Oktober 1953, misalnya, pasukan Sharon itu melakukan pembumihangusan Desa Kibya yang menewaskan 156 warga Palestina dan menghancurkan 56 rumah dan masjid.
Pada 1956, saat menjabat sebagai komandan jalur Matla perbatasan Israel dan Gurun Sinai Sharon berhasil menangkap 300 tentara Mesir. Lalu, para tawanan itu diperintahkan bertiarap dan dilindas dengan tank.
Deklarasi Balfour (1948) menyebabkan wilayah Palestina terbagi tiga. Pertama, negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina dan meliputi hampir seluruh wilayah yang subur, dengan perimbangan penduduk 498.000 Yahudi dan 497.000 Arab. Kedua, Negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total wilayah Palestina dan hampir seluruh wilayahnya tandus dan berbukit-bukit. Perimbangannya, 10.000 Yahudi dan 725 ribu Arab.
Ketiga, zona internasional (Jerusalem) dengan perimbangan penduduk 100.000 Yahudi dan 105.000 Arab. Pada 1922, sekitar 26 tahun sebelum resolusi PBB, ketika Mandat Inggris dari Liga Bangsa-Bangsa, penduduk Arab Palestina berjumlah 668.000 orang dan menguasai 98 persen wilayah Palestina. Sedangkan, penduduk Yahudi yang berjumlah 84.000 orang hanya menguasai dua persen tanah Palestina.
Dalam sebuah wawancara dengan koran Yediot Aharonot, 26 Mei 1974, Ariel Sharon menyatakan: Kita harus selalu menyerang, menyerang, tanpa berhenti. Kita harus menyerang mereka di mana pun adanya. Di dalam negeri, di negeri Arab, dan bahkan di seberang lautan sekalipun. Semuanya pasti akan dapat dilakukan.”
Robert Garaudy memaparkan bahwa tokoh-tokoh Zionis Israel, baik yang tergabung dalam Partai Likud, Partai Buruh, atau partai politik lainnya, merupakan tokoh-tokoh teroris. Sebut saja nama Simon Perez, Presiden Israel saat ini. Perez adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pembantaian lebih dari 2000 warga Palestina yang dilakukan oleh pasukan Palangis Kristen Lebanon.