REPUBLIKA.CO.ID, KARACHI -- Pembicaraan untuk mengakhiri puluhan tahun konflik bersenjata di Afghanistan saat ini sedang berlangsung di Doha, para pengungsi di kamp New Saranan di provinsi Balochistan Pakistan berkumpul pada Ahad (13/9), untuk membahas proses pemulangan hampir 5.000 keluarga Afghanistan yang mengungsi.
Adapun pembicaraan intra-Afghanistan antara Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani dan Taliban dimulai pada Sabtu (12/9), dan diharapkan menghasilkan gencatan senjata permanen, dan pengaturan pembagian kekuasaan.
"Jika pembicaraan berhasil, kami tidak akan peduli apakah itu siang atau malam, kami hanya akan memulai perjalanan kami," kata seorang tetua Afghanistan yang meninggalkan rumahnya di provinsi Sar Pul lebih dari 30 tahun yang lalu, Muhammad Agha Ishaqzai, dilansir dari Arab News Selasa (15/9).
"Kami haus akan tanah air kami seperti orang yang berpuasa sepanjang hari-hari musim panas, menunggu segelas air," ucapnya.
Pembicaraan itu telah meningkatkan harapan di antara warga Afghanistan yang tersebar di seluruh dunia termasuk 1,4 juta orang yang terdaftar sebagai pengungsi di Pakistan. Mereka sebagian besar tinggal di kamp-kamp dan pusat kota di provinsi yang berbatasan dengan Afghanistan.
"Kami menonton berita dan berharap rakyat Afghanistan akan melihat perdamaian setelah 40 tahun," kata seorang aktivis pemuda yang menghadiri pertemuan pada Ahad, Zahir Pashtun.
"Kami orang Afghanistan telah melihat pembicaraan yang ditengahi PBB antara mujahidin dan Najibullah," kata dia. Hal ini mengacu pada presiden Afghanistan yang menjabat dari 1987 hingga 1992, tak lama setelah itu mujahidin mengambil alih Kabul setelah perang Afghanistan-Soviet dari 1979 hingga 1989.
Dia menambahkan, sementara semua pembicaraan sejauh ini, termasuk antara mujahidin dan Taliban, telah gagal, rakyat Afghanistan masih memiliki harapan.
Pahstun mengatakan, setidaknya tiga hal harus terjadi agar warga Afghanistan dipulangkan. "Harus ada pemerintah Afghanistan yang inklusif, yang memiliki perwakilan dari semua etnis dan sekte. Perpecahan etnis harus disingkirkan, dan tanah serta properti yang ditinggalkan para pengungsi harus dipulihkan sehingga mereka dapat memulai hidup baru," kata dia.
Namun, bagi banyak orang, pulang ke rumah tidaklah mudah. "Ini telah menjadi agenda utama diskusi kami sekarang, dan ketika saya bertanya kepada orang-orang apakah mereka akan kembali, mayoritas mengatakan mereka tidak punya alasan untuk kembali, bahkan jika pembicaraan berhasil," kata seorang guru dan sesepuh komunitas di daerah Al-Asif, Syed Mustafa.
"Mayoritas lebih dari 60 ribu pengungsi yang tinggal di provinsi Sindh lahir dan dibesarkan di sini. Ketika mereka kembali ke tanah orang tuanya, mereka akan merasa seperti berada di negeri orang asing. Mereka yang pergi ke sana di masa lalu telah kembali," kata dia.
Seorang janda dari Afghanistan, Muneeba Hayatullah tinggal di daerah Metroville Karachi, putrinya baru-baru ini menikah. Dia mengatakan, perundingan damai membuatnya bahagia terlepas dari apa yang dibawa masa depan untuknya.
"Saya ingin melihat Afghanistan yang damai, bukan yang berupa kuburan. Tapi saya tidak tahu apakah saya akan kembali," ucapnya.