REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD – Sebanyak 4.847 orang penganut Syiah diperkirakan terbunuh dalam insiden berbau sektarian selama 2001-2008 di Pakistan. Data lain menunjukkan 10 ribu orang diestimasi meninggal dunia selama kurun waktu tersebut.
Statistik tersebut ialah gambaran nasib Syiah minoritas di negara tersebut. Pemerintah dianggap gagal melindungi minoritas.
Dilansir dari opini anonim di Express Tribune Pakistan pada Selasa (15/9), disebutkan perasaan kekhawatiran komunitas Syiah mulai terbentuk lagi sejak awal Muharram 2020.
Terdapat sejumlah insiden yang mencuat di media sosial, salah satunya memaksa Syiah menghormati hal tertentu. Komunitas Syiah juga mengklaim mendapat diskriminasi di tempat kerja dan penghinaan di ruang publik.
Pemerintah dianggap malah memperburuk perbedaan yang telah ada antara Sunni dan Syiah untuk dijadikan aksi politik yang lebih jauh. Pemerintah menyalahkan asal kebencian atas dasar keagamaan.
Posisi geopolitik Pakistan menjadikannya sarang perang proxy, khususnya di Arab Saudi dan Iran. Kedua negara itu mengeksploitasi tantangan keamanan nasional Pakistan menghadapi Afganistan dan India untuk dijadikan pijakan. Pakistan punya tujuan politik yang sejalan dengan ideologi Arab Saudi karena ketergantungan ekonomi. Padahal Pakistan harusnya dapat mendikte kebijakan luar negeri dan domestiknya sendiri, bukan sebaliknya.
Dalam rangka menghadapi ancaman keamanan eksternal, pemerintah diduga menggunakan organisasi Wahabi dan salafi. Tekanan internasional untuk memaksa pembubaran kedua organisasi itu berujung perlawanan.
Contohnya, Sipah-e-Sahaba Pakistan dibubarkan Pervez Musharraf pada 2002 di bawah regulasi anti-terorisme. Namun organisasi itu terus beroperasi dengan mengubah nama menjadi Ahl-e-sunnat-wal-jamaat (ASWJ) dipimpin Aurangzeb Farooqui dan Ahmed Ludhianvi.
Organisasi tersebut menikmati kebebasan. Mereka bebas berkumpul, beraktivitas dan berpolitik. Rencana Aksi Nasional Pakistan baru-baru ini hanya alat untuk mengadang lawan politik dan elemen asing. Aturan itu dianggap tak melindungi warga Pakistan. Kemudian Undang-Undang Tahaffuz-e-Bunyaad-e-Islam yang ditekan kelompok Punjab justru mental oleh panel parlemen dari Sunni, termasuk Muavia Azam dari ASWJ.
Kemudian diklaim gerakan Azmat-e-sahaba baru-baru ini di Karachi untuk mengintimidasi minoritas Syiah sekaligus mengukuhkan supremasi Sunni di Pakistan. Gerakan ini didukung partai kuat seperti Jamiat-e-ulema dan partai sayap kanan seperti ASWJ dan Tehreek-e-Labbaik. Propaganda mereka dianggap membangun narasi agar didukung Sunni moderat yang sebelumnya tak terpengaruh oleh politik agama.
Para Sunni moderat seolah tak paham motivasi gerakan tersebut hingga gagal memahami cara pandang Islam Syiah. Kelompok Syiah menegaskan tak ada perubahan keyakinan dalam Islam yang dilakukan atau dipercayai. Sunni dipandang salah karena tak mau ada perbedaan dalam keyakinan. Begitu juga Syiah yang tak mengharapkan kepercayaan mereka dijunjung Sunni.
Syiah menuding adalah kesalahan Sunni hingga negara Pakistan menjadi seperti sekarang yaitu negara yang tak mengizinkan sekte minoritas menjalankan kepercayaan secara bebas. Tahap pertama menuju kebaikan harusnya diawali toleransi dan hidup bersama.
Diharapkan penganut Sunni tak perlu menerima penganut Syiah atas dasar kepercayaan, tapi sebagai sesama anggota masyarakat. Syiah juga tak perlu mempertahankan posisi pada isu kontroversial karena menimbulkan sentimen. Apalagi ketika tak ada dasar agama dan hukum atas isu tersebut.
Ketika aliran mayoritas belajar hidup bersama minoritas maka umat dapat meneruskannya menuju persatuan. Kedua, kekuatan komunitas akan semakin kuat ketika mengedepankan inklusivitas dan penerimaan minoritas.
Patut diingat bahwa kemajuan Pakistan sebagai bangsa bergantung pada investasi pada masyarakat agar menjadi lebih baik. Mereka yang berkuasa diharapkan bersedia menyediakan "pena" bukan senjata bagi yang miskin dan lemah. Sebab ketika mereka memiliki pena, mereka akan tahu kebenarannya.
Sumber: https://tribune.com.pk/article/97167/why-are-anti-shia-sentiments-on-the-rise-in-pakistan