REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sejumlah pihak menyebut klausul dalam kesepakatan normalisasi hubungan Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, yang ditengahi Amerika Serikat (AS) dapat berujung dengan terbaginya Kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Peluang komunitas Yahudi pun makin terbuka lebar untuk bisa beribadah di sana.
Menurut laporan LSM Terrestrial Jerusalem (TJ), pernyataan kesepakatan normalisasi itu menandai perubahan radikal dalam status quo dan memiliki konsekuensi yang luas dan berpotensi meledak. Status quo yang dimaksudkan TJ adalah kesepakatan internasional yang dibuat seusai Perang Enam Hari pada 1968.
Kesepakatannya adalah hanya Muslim yang dapat beribadah di dalam al-Haram al-Sharif alias kompleks Masjid Al-Aqsa yang luasnya mencapai 14 hektare. Non-Muslim bisa berkunjung, tapi tidak bisa beribadah di sana.
Namun, sebagaimana dilaporkan Aljazirah, Senin (14/9), dalam kesepakatan terbaru Israel dengan UEA-Bahrain, terdapat klausul yang memungkinkan pembatasan dalam status quo itu dilanggar. Salah satunya tampak dalam pernyataan bersama antara AS, Israel, dan UEA yang dirilis pada 13 Agustus oleh Presiden AS Donald Trump.
"Seperti yang tertuang dalam Visi Perdamaian, semua Muslim yang datang dengan damai dapat mengunjungi dan berdoa di Masjid Al-Aqsa dan situs suci Yerusalem lainnya harus tetap terbuka untuk pemuja damai dari semua agama," demikian diktumnya.
Letak masalah ada pada pendefinisian Masjid Al-Aqsa tersebut. Menurut TJ, Israel mendefinisikan Al-Aqsa hanyalah satu bangunan masjid, bukan sebuah kompleks.
"Menurut Israel [dan tampaknya Amerika Serikat], apa pun area itu yang bukan struktur masjid didefinisikan sebagai 'salah satu situs suci Yerusalem lainnya' dan terbuka untuk beribadah oleh semua agama, termasuk Yahudi," kata laporan TJ.
Menurut TJ, pemilihan terminologi demikian bukanlah sesuatu yang acak atau salah langkah. "(Itu adalah) upaya yang disengaja, meskipun secara diam-diam, untuk membiarkan pintu terbuka lebar bagi Yahudi berdoa di Temple Mount, dengan demikian secara radikal mengubah status quo."
Khaled Zabarqa, seorang pengacara Palestina yang berspesialisasi dalam urusan Al-Aqsa dan Yerusalem, menuturkan pernyataan itu dengan sangat jelas mengatakan masjid tidak berada di bawah kedaulatan Muslim. "Ketika UEA menerima klausul seperti itu, ia setuju dan memberi lampu hijau bagi kedaulatan Israel atas Kompleks Masjid Al-Aqsa," kata Zabarqa.
Ia menekankan, kesepakatan itu adalah pelanggaran besar-besaran terhadap status quo internasional dan hukum Masjid Al-Aqsa setelah pendudukan Yerusalem pada 1967. Status quo menyatakan segala sesuatu di dalam tembok Kompleks Masjid Al-Aqsa berada di bawah pengawasan Yordania.
Menurut TJ, warga Palestina telah lama khawatir dengan kemungkinan dipartisinya Masjid Al-Aqsa, sebagaimana telah terjadi terhadap Masjid Ibrahimi di Kota Hebron. Selama bertahun-tahun, kata TJ, gerakan Temple Movement, yang dipimpin oleh orang yang mengusung hak nasionalis ekstrim agama Yahudi telah berupaya mengubah status quo.
Sebagian dari mereka telah mengimbau agar umat Yahudi berdoa di Kompleks Masjid Al-Aqsa. Sementara yang lain berupaya membangun Kuil Ketiga di atas reruntuhan Kubah Batu, yang menurut kepercayaan mesianis akan mengantarkan kedatangan mesias.