REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Hafidz Taftazani*
Publik Tanah Air saat ini dibuat gaduh dengan polemik rencana Program Penceremah Bersertifikat Kementerian Agama. Saya bukan hanya setuju tetapi juga sangat mendukung rencana sertifikasi penceramah. Bahkan, saya sudah sejak lama mengusulkan agar Kementerian Agama melakukan sertifikasi penceramah, khususnya penceramah agama. Mengapa?
Sertifikasi bagi penceramah merupakan hal yang lazim di dunia keilmuan di mana saja di seluruh dunia. Sertifikasi di dunia keilmuan, intelektual, pendidikan, itu adalah hal-hal yang biasa. Sertifikasi diperlukan agar ada standardisasi kualitas, kompetensi dan visi baik bagi para penceramah, maupun profesi lainnya. Tetapi mengapa setelah wacana sertifikasi terhadap para penceramah seperti dianggap ekstrem sehingga belum sampai pada pelaksanaannya sudah banyak muncul penolakan.
Sertifikasi juga bisa menjadi referensi bagi stasiun televisi dalam memilih penceramah/mubalig/dai yang akan ditampilkan untuk menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak. Stasiun televisi akan memiliki referensi untuk memilih penceramah yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar. Sebab saya yakin stasiun televisi juga tidak akan berspekulasi untuk menampilkan secara penceramah/mubaligh yang belum jelas kapasitas serta legitimasinya mengingat mereka harus mempertanggungjawabkan setiap materi yang disiarkan di layar televisi.
Robitah Alam Al Islami (Liga Dunia Islam) di Arab Saudi sudah lama melakukan sertifikasi terhadap para penceramah. Bahkan, setiap tahun Liga Dunia Islam mengundang mubaligh-mubaligh dari beberapa negara untuk disertifikasi. Selama enam bulan berada di Arab Saudi, para pencermah mengikuti sertifikasi.
Ketika saya studi di Universitas Umm Al-Qura, Arab Saudi, saya menyaksikan sendiri Universitas Al-Azhar dan sejumlah perguruan tinggi lainnya di Timur Tengah juga mengundang mubaligh-mubaligh dari Indonesia. Selama enam bulan maupun tiga bulan di sana, dilakukan sertifikasi. Artinya latihan dakwah di sana selama tiga bulan langsung diberikan sertifikat.
Jadi, sekali lagi, sertifikasi terhadap para penceramah dan berbagai profesi yang bekerja atas dasar keilmuan, merupakan hal wajar. Bahkan merupakan suatu keharusan. Hal itu dilakukan untuk kepentingan publik/masyarakat dan juga untuk kepentingan penceramah sendiri dalam menjalankan profesinya. Penceramah yang memiliki sertifikat akan lebih bertanggung jawab secara keilmuan dan untuk menjaga etika.
Kementerian Agama perlu melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MU) dan dua ormas Islam terbesar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah dalam melakukan sertifikasi penceramah. MUI, NU dan Muhammadiyah dapat membantu menyiapkan materi-materi yang akan dipakai untuk sertifikasi penceramah tersebut. Keterlibatan MUI, NU, dan Muhammadiyah selain akan memperkaya materi sertifikasi dan sasaran penceramah yang diikutsertakan dalam sertifikasi, juga akan memperkuat legitimasi sertifikasi yang dilakukan Kementerian Agama. Jika Kementerian Agama berjalan sendiri menangani sertifikasi bisa dianggap sebagai sebuah pemaksaan.
Jika MUI, NU dan Muhammadiyah diminta Kementerian Agama untuk membantu program sertifikasi ulama maka tidak ada pilihan lain kecuali menerima, tentu dengan catatan dan kesepakatan di sana sini itu wajar sebagai bagian dinamika penyempurnaan program. Ini program baik untuk kepentingan bersama, kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Saya menilai penolakan sejumlah elite MUI terhadap sertifikasi penceramah, sebagai sesuatu yang tidak elok, apalagi sampai menyatakan mundur dari jabatan. Masih ada ruang dialog dan silaturahim yang terbuka lebar. Sikap seperti itu hanya boleh disampaikan atas nama individu atau pribadi, bukan atas nama pengurus MUI. Bukankah MUI secara kelembagaan juga pernah menjalankan Standardisasi Dai yang tujuannya kurang lebih sama dengan rencana yang dibuat Kemenag.
Kemenag bersama NU dan Muhammadiyah dapat menyusun standar materi sertifikasi. Sebagai contoh, seorang penceramah mutlak harus fasih membaca Alquran, menguasai ayat-ayat Alquran dakwah dan ayat-ayat tentang akidah, dalil-dalil tentang keharusan ber-amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah keburukan). Sangat tidak proporsional jika ada penceramah yang hanya hafal ayat-ayat tentang jihad saja, padahal Alquran mengatur semua bidang kehidupan.
Mengapa sertifikasi penceramah penting bahkan harus dilakukan? Karena kehadiran para penceramah di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapat membangun, bukan merusak yang sudah ada. Kehadiran penceramah diharapkan dapat memperkuat persatuan yang sudah ada (baik antarsesama umat Islam maupun antar umat beragama), bukan sebaliknya.
Penceramah di tingkat manapun (desa, kecematan, kabupaten/kota, provinsi atau nasional) harus dapat membawa diri dan menyampaikan materi yang dapat memperkuat persatuan/ukhuwah. Karena itu tidak boleh menyampaikan materi yang bersifat provokasi dan mengundang kontroversi.
Penceramah tidak boleh mempersoalkan atau mempertentangkan hal-hal yang sudah disepakati dalam bernegara seperti Pancasila karena dapat menimbulkan konflik di masyarakat. Tidak boleh menyerang negara, kelompok atau individu. Satu hal lagi yang juga sangat penting adalah perlunya para penceramah memahami konsep Islam mengenai tolerasi beragama. Harus ditegaskan bahwa Islam mengajarkan masalah tolerasi dalam kehidupan beragama, tidak ada sikap salng mengkafirkan yang dilakukan oleh peceramah.
Kedasaran inilah yang akan diperoleh para penceramah melalui proses sertifikasi. Karena itu rencana sertifikasi penceramah yang dilakukan oleh Kementerian Agama harus kita dukung.
*Ketua Umum Masyarakat Pesantren. Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi.