REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jika mendengar seseorang merupakan orang Arab, Muslim kerap kali diidentikan padanya. Namun demikian, pemahaman kontemporer mengenai identitas Arab bisa dikatakan beragam, dan kaya akan budaya.
Pengulas buku asal Prancis-Aljazair dengan fokus literatur Muslim dan Arab, Assia Belgacem, juga menampik penilaian umum pada orang Arab itu. Dalam reviewnya yang diterbitkan di Alaraby, dia mengulas sebuah buku karangan Massoud Hayoun dengan judul ‘’When We Were Arabs: A Jewish Family's Forgotten History’’.
Di awal buku itu, kata dia, ada pernyataan tajam oleh penulis yang merupakan jurnalis dengan latar belakang Arab-Amerika Yahudi. Penulis buku, Belgacem sebut menolak konsepsi sempit orang lain tentang identitasnya. "Saya orang Arab Yahudi.
Bagi banyak orang, saya menjijikkan. Beberapa mengatakan saya tidak ada, atau jika saya ada, saya tidak lagi ada. Saya menolak ide-ide ini." tulisnya dikutip Al Arabi Kamis (3/9).
Buku itu, menurut dia bisa dianalisis menjadi tiga bagian. Bagian pertama ‘When We Were Arabs’ dia sebut merupakan gambaran subjektif karena ada kata ganti ‘kami’. Menurut dia, dari judul yang diambil, tata letak memperjelas bahwa identitas Arab adalah yang dipertaruhkan dalam memoar ini.
Bagian kedua darinya ‘Sejarah Keluarga Yahudi’ dia nilai sudah menyoroti sejarah yang lebih spesifik. Sehingga, cakupannya telah dipersempit, dari "kita" yang lebih umum dan historis, ke yang lebih tepat dan pribadi, yaitu keluarga. Untuk akhirnya dipersempit lagi menjadi Massoud Hayoun, selaku penulisnya.
Secara strategis, judul tersebut dinilainya mencakup peristiwa sejarah dan pribadi yang digunakan oleh penulis untuk mendefinisikan identitas Arab Yahudi. Sehingga Inti buku ini adalah kisah Massoud Hayoun, keluarganya dan komunitas Yahudi Arab, yang berakar pada zaman yang hilang.
Bagian ketiga, sambung dia, adalah kunci narasi yang digunakan. Bentuk penulisan lampau dengan kata ‘terlupakan’ bisa menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana fungsi identitas Yahudi Arab di masa kini. Kekuatan pendorong buku itu, adalah kebangkitan masa lalu yang tidak lagi dilupakan.
Menurut Belgacem, sejarah memang kuat. Terlebih, itu adalah waktu yang menyambungkan masa kini dan masa depan. Jika, menilik ke dalam buku, Massoud Hayoun juga menyadari hal ini. Dia membawa pembaca kembali ke masa lalu untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa.
Dalam buku, penulis juga membedah identitas Arab Yahudi dari asal-usul orang Arab dan Yahudi. Sejak saat itu, dirinya menulis dengan menyoroti persatuan Arab dan menunjukkan betapa kaburnya garis antara Muslim Arab dan Yahudi Arab.
"Bagi kami, garis antara Ishak dan Ismail kabur, lebih dari keluarga lain, mungkin karena kami tidak menganggap apa-apa selain Tuhan dengan sangat serius. Ketika kami mengatakan hal-hal seperti Insya Allah (Insya Allah) atau Hamdela (alhamdulillah) kami diam-diam mengakui bahwa Allah dalam Islam adalah Allah yang sama yang kami layani dalam Yudaisme kami, "tulis Hayoun dalam bukunya.
Dalam bab yang berjudul 'La Rupture / The Rupture', Hayoun diketahui juga menelusuri dampak imperialisme Eropa dan kelahiran negara Israel pada identitas Arab.
Memoar tersebut menurut Belgacem, telah mengeksplorasi peran yang dimainkan Prancis untuk memecah belah komunitas di Afrika Utara dengan Dekrit Crémieux 1870, yang menyatakan orang Yahudi Aljazair sebagai warga negara Prancis.
Dengan adanya itu, dia menilai bahwa Yahudi Arab adalah identitas yang tidak hanya dilupakan, tapi juga yang sengaja dihapus. Tujuannya, adalah untuk "mengangkat" Yahudi Aljazair (pribumi pada saat itu) ke kondisi yang lebih unggul, dan membawa mereka lebih dekat dengan penjajah Prancis kulit putih dan membuat perpecahan antara mereka serta tetangga Muslim.
Hal Ini menjelaskan awal perpisahan orang Yahudi Aljazair dari komunitas Yahudi lainnya di Tunisia dan Maroko. Di mana, mereka merupakan pihak yang tidak diberikan kewarganegaraan.
Lebih jauh, ketika menceritakan nenek Hayoun, Daida yang berasal dari keluarga Yahudi Tunisia, penggambaran imperialis Perancis yang memaksakan identitas baru pada komunitas Arab Yahudi juga tampak nyata.
Utamanya pada suatu hari, ketika Daida berada di sekolah, gurunya, seorang wanita Prancis berkulit putih, meminta siswanya untuk mengidentifikasi kewarganegaraan mereka.
Ketika neneknya mengatakan dia orang Tunisia, guru itu dengan tegas mengoreksi, dia berkata "Kamu bukan Tunisia; kamu orang Israel". Ketika Daida bersikeras menjadi orang Tunisia, gurunya menuduhnya sebagai pembohong.
Pengalaman ini dengan jelas menggambarkan bahwa Yahudi Arab, adalah identitas yang tidak hanya dilupakan, tetapi juga yang dengan sengaja dihapus.