REPUBLIKA.CO.ID, Charlie Hebdo kembali berulah. Dengan dalih kebebasan berekspresi menampilkan kartun-kartun Nabi Muhammad SAW. Mengapa kejahatan teror terhadap Rasulullah SAW terjadi?
Secara historis pelbagai bentuk teror kepada Nabi SAW akan berlangsung sepanjang zaman. Menurut Alquran, teror paling dahsyat, kasar, dan biadab datang bertubi-tubi dari kalangan Yahudi, baik ketika Nabi SAW saat hidup atau sesudah wafatnya.
Di era modern teror datang dari orang-orang yang mengaku Islam dan orang-orang luar Islam. Di kalangan umat Islam, mereka meneror Nabi SAW sebagai nabi palsu seperti dilakukan Rashad Khalifa (1835-1908) dari Mesir, Lia Eden dan Ahmad Moshadeq dari Indonesia, serta lainnya. Demikian pula Mirza Ghulam Ahmad, pendiri agama Ahmadiyah dari India; Mirza Husein Ali, pendiri agama Baha’i dari Iran, dan lainnya.
Sementara orang-orang luar Islam meneror Nabi SAW dengan cara menghina, mencaci-maki, melecehkan, dan menfitnahnya. Hal ini lazim dilakukan para sarjana ketimuran (para orientalis) dan jurnalis satire yang benci, dengki, dan marah atas keluhuran Nabi SAW. Mereka, antara lain, Fr Buhll, Henri Lammens, GW Bromfield, dan Richard Bell. Demikian pula SM Zwemer, HG Reissner, Isaiah Goldfeld, Norman Calder, dan Khalil `Athamina BirZeit, dan Pendeta John of Damascus, Pastor Bede, dan novelis Salman Rusdie dari Inggris, serta lainnya.
Selain menyerang kepribadian dan karakter Nabi, mereka juga mendistorsi risalah kenabiannya. John of Damascus dan Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada 673-735 M, misalnya, berpendapat bahwa Nabi SAW adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bahkan, Bede menggambarkan Nabi SAW sebagai seorang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosialnya rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa.
Pada zaman pertengahan Barat, penghinaan Nabi SAW dilakukan dengan menggunakan istilah satire peyoratif. Mereka menggelari Nabi SAW dengan sebutan Mahound, Mahoun, Mahon, Mahomet, dan Machmet. Pelbagai istilah itu sinonim dengan setan dan berhala di dalam bahasa Prancis dan Jerman.
Pada era Renaissance Barat dan zaman Reformasi Barat, citra buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh Alquran sebagai karya setan, sebagaimana dilakukan Salman Rushdie. Lebih parah lagi, Martin Luther menganggap Nabi SAW sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Tak dapat diragukan lagi, teror kepada Nabi SAW tentu menimbulkan protes keras kaum Muslimin sebagai bentuk pembelaan dan kecintaan umatnya kepada nabinya. Jangankan mengina Nabi Muhammad SAW, menghina nabi-nabi yang lain pun akan memicu kritik keras dan kontroversi. Hal ini dapat dipahami karena secara teologis dalam Islam ditegaskan, penghinaan kepada utusan Allah manapun adalah dosa besar. Mengingkari satu nabi sama dengan mengingkari yang lain.
Kendati demikian, tidak ada protes maupun reaksi yang sangat keras dari umat Islam kecuali teror kepada Nabi Muhammad SAW. Dan dalam sejarahnya, tidak ada teror yang paling biadab kepada para nabi dari kelompok manapun, kecuali kepada Nabi SAW pula.
Protes dan reaksi itu tentu dapat dipahami karena bagi umat Islam, Nabi SAW adalah bukti sekaligus identitas keimanan seseorang. Secara psikologis-sosiologis, umat Islam tidak akan melakukan protes sekeras teror kepada Nabi SAW. Karena itu pula, jika ada orang yang menghujat Allah sekalipun atau mencerca malaikat atau simbol-simbol agama Islam lainnya, umat Islam cenderung menganggap pelakunya sebagai orang yang tidak taat agama atau kufur. Hal itu tentu berbeda dengan teror atau hinaan kepada Nabi SAW.
Inilah kecerobohan, kedunguan, dan kesalahan fatal para orientalis, penulis, jurnalis Barat dalam memahami psikologi umat Islam, termasuk para jurnalis majalah Charlie Hebdo maupun koran Jyllands-Posten dan media lain yang mempunyai ideologi dan hobi kebencian yang sama terhadap Islam. Mereka telah berulang kali melakukan teror psikologis teologi umat Islam.
Tentu, kita tidak sepakat dengan cara-cara yang dilakukan sejumlah orang yang melakukan balas dendam atas teror kepada Nabi SAW dengan cara kekerasan. Dalam Islam, kekerasan atas nama apa pun tidak dibenarkan, termasuk cara mencintai dan membela Nabi SAW. Namun, ini memang dilematis karena pelaku teror kepada Nabi SAW dibiarkan masyarakat Barat yang konon menjunjung tinggi moral. Ironisnya lagi, sebagian orang-orang Barat justru mendukung ulah para jurnalis niretika itu dengan menggelar demo dan membawa tulisan Je suis Charlie (Saya Charlie) dengan alasan kebebasan berekspresi.
Bila dunia bungkam dan membiarkan teror atas Nabi SAW terus berlanjut, tak menutup kemungkinan akan mengancam keamanan dan kedamaian global. Toleransi antarpemeluk umat beragama yang selama ini didengungkan masyarakat Barat ternyata hanya enak untuk kepentingan mereka, tapi menindas untuk yang lain. Inilah wajah seram dan buram moral peradaban Barat.
*Naskah ini merupakan cuplikan dari artikep berjudul Orientalis dan Teror Charlie Hebdo, karya Saefudin, yang terbit di Harian Republika, pada 2015 lalu.