REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kekuasaan Firaun yang absolut dalam memimpin Mesir pada masanya berbuah pada kesombongan untuk menandingi Allah SWT. Siapa sangka, Firaun yang mengaku Tuhan itu nyatanya butuh beragam cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dalam buku Sejarah Nabi-Nabi Allah karya Ahmad Bahjat dijelaskan, jauh sebelum Islam datang, ajaran Tauhid memang sudah ada dibawa oleh para nabi-nabi terdahulu. Misalnya, ketika akidah umat jahiliyah di Mesir masih tersentralisasi pada politeisme, Allah menciptakan Nabi Yusuf untuk meneruskan misi akidah monoteisme.
Maka ketika Nabi Yusuf menjadi penguasa Mesir dan ketua para menteri agama, agama tauhid diperkenalkan kembali. Nabi Yusuf menyeru kepada segenap manusia untuk memeluk Islam saat beliau masih ada di dalam penjara hingga di masa kepemimpinannya.
Namun ketika Nabi Yusuf Meninggal, tradisi lama nyatanya mampu mengubah sistem tauhid ke dalam sistem politeisme untuk kedua kalinya. Menurut dugaan kuat bahwa hal ini terwujud dengan adanya campur tangan kelompok-kelompok elit yang berkuasa.
Kelompok-kelompok elit ini ketika di bawah agama tauhid, mereka tidak mendapatkan suatu perlakuan istimewa atau dibedakan dengan masyarakat umum. Sehingga sepeninggal Nabi Yusuf, mereka mengembalikan sistem penyembahan sebagaimana tradisi jahiliyah. Hingga akhirnya sistem pemerintahan pun dipimpin oleh keluarga-keluarga Firaun hingga mereka mengklaim diri sebagai wakil-wakil Tuhan.
Padahal pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang beradab. Mereka disibukkan dengan pembangunan peradaban dengan memiliki kecenderungan keagamaan yang kuat. Maka dimungkinkan bahwa kelompok-kelompok dari masyarakat Mesir meyakini bahwa Firaun bukanlah Tuhan.
Namun karena mereka mendapat tantangan keras dari Firaun-Firaun yang tidak ingin kaumnya menaati makhluk selain dia seorang, maka masyarakat Mesir kala itu banyak yang terpaksa menyembunyikan keimanan dalam diri mereka. Pada zaman Nabi Musa, kekuasaan absolut Firaun nyatanya ditopang oleh oligarki yang kuat.
KH Faiz Syukron Makmun menjelaskan, kekuatan absolut Firaun didukung oleh tiga elite aspek. Pertama, kekuatan militer yang dipimpin oleh Haman. Kedua, pemuka agama yang keilmuannya hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan jauh dari semangat keimanan yang dipimpin oleh Bal’am. Dan ketiga, kekuasaan Firaun ditopang oleh orang-orang kaya yang diwakili oleh Qarun.
Firaun yang merupakan politisi kawakan memahami bahwa ketiga aspek itulah yang dapat menjadikan kekuasaannya langgeng alias tak akan bisa diintervensi oleh rakyat manapun. Sehingga ketiga elemen elite tersebut ‘dipelihara’ dan diberdayakan oleh Firaun.
Allah SWT menceritakan Firaun yang hidup di zaman Nabi Musa dalam Alquran Surah An-Naziat ayat 23-24 berbunyi: “Fahasyara fanaada. Faqala ana rabbukumul-a’la,”. Yang artinya: “Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: akulah (Firaun) Tuhanmu yang paling tinggi,”.
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar di bawah pengawasan Syekh Shalih bin Abdullah bin Humaid dijelaskan, dalam ayat tersebut Firaun mengaku-aku sebagai Tuhan. Maka demikian Allah SWT menghukumnya dengan azab di dunia dan akhirat dan menjadikan kisahnya sebagai nasihat dan pelajaran bagi orang-orang yang membangkang sepertinya.
Sesungguhnya Firaun dan apa yang menimpanya merupakan nasihat bagi siapa yang hendak mengambil nasihat dan pelajaran. Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir mengatakan bahwa dalam ayat tersebut, Allah sesungguhnya tengah memberikan gambaran kepada kaum sesudah Firaun untuk tidak meniru apa-apa yang dilakukan Firaun.
Sebab, Firaun telah mencoba mendeklarasikan diri sebagai Tuhan dengan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Padahal, setiap makhluk adalah hamba yang lemah yang seluruh hajatnya telah diatur Allah SWT.