REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Anggota Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI) Zulfikri Anas mengatakan, proses belajar mengajar tak boleh berhenti karena wabah Covid-19. Karena itu, lembaga pendidikan harus beradaptasi dengan situasi saat ini.
"Beradaptasi dalam berbagai situasi, termasuk di masa pandemi adalah keniscayaan. Artinya, beralih dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran digital adalah suatu keharusan apabila dunia pendidikan ingin membuktikan kedigdayaannya dalam membekali setiap manusia untuk mampu hidup dan beradaptasi dengan segala situasi," kata Zulfikri kepada Republika.co.id, Jumat (14/8).
Kendati demikian, menurutnya, hal tersebut harus disertai dengan perubahan paradigma semua pelaku pendidikan tentang makna belajar. Sebab, pendidikan adalah upaya memberikan pelayanan kepada setiap anak tanpa kecuali dan tanpa seleksi.
Zulfikri menjelaskan, setiap anak berhak memilih cara dan gaya belajar sesuai dengan karakter, minat, bakat, dan potensi masing-masing. Di lain sisi, sebagai orang dewasa, para pendidik tidak mendikte anak dan menjadi pengawas yang senantiasa mengawasi langkah belajar anak. Dalam hal ini, pendidik harus mampu secara kreatif mewujudkan suasana yang mengaktifkan mesin belajar dan potensi kemanusiaan, serta mekanisme pengawasan internal dari dalam diri setiap anak.
Menurutnya, setiap anak seharusnya dikondisikan agar mandiri dan mengerti mana yang salah dan yang benar, bukan karena ancaman hukuman atau kungkungan administrasi yang kaku, melainkan karena kesadaran yang tumbuh dari dalam diri mereka.
"Apabila hal ini berjalan, kita tidak perlu khawatir dengan berbagai persoalan dan dampak negatif perangkat teknologi. Justru perangkat teknologi itu menjadi alat bantu meningkatkan kualitas hidup dan peradaban, serta akhlak manusia, apalagi di masa pandemi seperti ini," katanya.
Sementara, Ketua Dewan Pembina AYPI Afrizal Sinaro mengatakan, sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia, AYPI sudah siap menghadapi situasi sulit seperti terjadi saat ini. Menurut dia, sekolah dan guru-guru tentunya sudah mempunyai strategi dan cara agar proses pembelajaran jarak jauh bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Kendati demikian, menurut dia, persoalan utama dari sistem belajar daring bukan terletak di sekolah atau lembaga pendidikan, namun justru di siswa. Sebab, sebagian siswa tidak mempunyai perangkat elektronik seperti laptop atau telepon pintar (smart phone). Selain itu, siswa di beberapa wilayah terkendala jaringan internet dan aliran listrik.
"Jadi percepatan migrasi pembelajaran dari sistem konvensional ke digital sangat ditentukan oleh fasilitas (listrik, internet, dan labtop). Nah ini menjadi tanggung jawab pemerintah," ujar Afrizal.
Ia juga menyampaikan, layanan pendidikan di sekolah disesuaikan dengan kebutuhan anak, kondisi orang tua, dan konteks lokal sekolah. Karena itu, layanan pendidikan di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada guru, orang tua, manajemen sekolah serta pemilik satuan pendidikan tersebut yakni pemerintah daerah atau yayasan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Agama (Wamenag) KH Zainut Tauhid Sa'adi menyatakan, semua lembaga pendidikan harus beradaptasi dan berdamai dengan pandemi Covid-19. Langkah ini menjadi keputusan terbaik karena pandemi Covid-19 masih berlangsung dan belum tahu kapan akan berakhir.
"Di tengah adaptasi kebiasaan baru ini, pendidikan madrasah dan pesantren dituntut mampu berkreasi dan produktif agar tidak tertinggal oleh dinamika keadaan yang berjalan serba cepat," kata Wamenag ketika berkunjung ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 1 Semarang, Rabu (12/8).
Pada kesempatan itu, ia pun memotivasi agar madrasah dan pesantren memiliki optimisme tinggi dan produktif dalam menjalani proses pengajaran.
"Kita harus mampu mengambil manfaat dari musibah Covid-19 dengan menciptakan inovasi dan kreativitas baru. Salah satu bentuk manfaat yang dapat kita petik dari Covid-19 adalah percepatan migrasi pembelajaran dari sistem konvensional ke digital.’’