REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Hijab adalah transformasi dari jilbab. Namun sebelum tahun 1980-an kaum muslimah Indonesia lebih akrab dengan kudungan sebagai penutup aurat di kepala. Jilbab sendiri mulai marak seiring dengan tumbuhnya dakwah islamiyah. Jilbab tidak hanya digunakan saat pengajian, di kantor, namun jadi mode tersendiri di kalangan selebritas Indonesia.
Belakangan, jilbab disebut dengan hijab. Pembedanya, ukuran hijab lebih lebar dan tidak mengikuti mode secara mencolok. Bagi perempuan muslimah yang mengikuti tren hijrah, umumnya mereka menyebut jilbab dengan hijab. Namun menariknya produsen shampoo memakai kata hijab untuk menarik konsumen. Mungkin kata hijab lebih “moderat”.
Secara antropologis, hijab merupakan kebudayaan manusia yang sudah sangat tua dan mengandung pola tingkah laku, sikap mental, dan terkait dengan kepercayaan. Secara psikologis, muslimah yang berhijab kelihatan lebih sopan. Selain itu, sikap orang terhadap muslimah berhijab jadi penuh hormat, ada rasa enggan dan segan. Tentu hal ini berefek secara sosial.
Secara teologis, seorang muslimah meyakini bahwa berhijab itu adalah perintah agama yang berpahala. Allah SWT berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmi hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. al-Ahzab/33: 59). Jadi jelas berhijab adalah wajib.
Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jelas, hijab adalah kewajiban Allah SWT dan rasul-Nya. Hijab bukan suatu pilihan yang boleh ditinggalkan.
Secara praksis, pahala orang yang berhijab adalah terbebas dari gangguan. Gangguan ini bisa berupa terbebas dari udara ekstrem atau juga gangguan orang lain. Allah SWT berfirman, “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab/33: 59).
Maksud ayat ini, bagi pengarang Tafsir Jalalain, adalah tidak ada orang yang berani mengganggu pemakai hijab. Hal ini menunjukkan bahwa wanita muslimah berhijab adalah para wanita terhormat. Berbeda halnya dengan hamba sahaya, mereka tidak diperintahkan untuk menutupi wajah mereka. Akibatnya orang munafik kerap kali mengganggu mereka.
Pahala berhijab berikutnya adalah terhindar dari neraka yang tentu didapat nanti setelah mati. Informasi ini terungkap dari sabda Nabi SAW yang ditulis oleh Imam Muslim dalam kitab haditsnya, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat. Pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.
Kedua, para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian”. Dengan kata lain, insya Allah para muslimah berhijab akan dimuliakan Allah SWT dengan surga.
Saking pentingnya berhijab, Nabi SAW berpesan kepada putri tercinta beliau, ”Wahai anakku Fatimah. Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak berkenan menutup rambutnya hingga dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terakhir, serangkaian pahala dan ancaman yang terurai di atas adalah agar kaum muslimah menutup auratnya. Bagi kaum muslimah menutup aurat boleh dengan kudungan, jilbab seperti diutarakan Alquran, atau nama lain. Kudungan dan jilbab keduanya dapat disebut hijab. Karena hijab, secara bahasa, berarti menutupi aurat perempuan muslimah.