REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA
Usia rindu sepanjang usia manusia. Sebab getar rindu itu telah dirasakan oleh Adam kepada Hawa. Keduanya terlempar dari surga ke dunia. Kemudian keduanya terpisah selama 40 hari dan bertemu di satu tempat yang sekarang disebut Jabal Rahmah. Inilah dimensi rindu kepada sesama manusia. Secara eksistensial rindu seperti ini sangat masuk akal.
Sebagai buah cinta, rindu menerpa siapa saja. Misalnya, rindu isteri kepada suaminya yang bekerja jauh di luar kota dalam waktu yang lama. Begitu pula rindu suami kepada isterinya. Orangtua kepada anaknya. Kakek kepada cucu-cucunya. Namun sayangnya rindu kurang mendapat tempat dalam kajian ilmiah. Misalnya kajian rindu secara antropologis.
Padahal secara antropologis, subyek dan obyek rindu adalah manusia yang saat ini sedang jatuh cinta dan memendam rindu. Segala cipta, rasa, dan karsa manusia yang memendam rindu adalah kebudayaan rindu. Rindu ini bisa berupa rindu kepada sesama manusia, kepada Nabi SAW dan kepada Allah SWT. Rindu kepada manusia bisa luruh dengan bertemu.
Sebagai buah cinta, rindu kepada Rasulullah SAW dapat diekspresikan dengan mengerjakan sunah-sunah beliau. Misalnya sunah qauliyah, yakni perkataan Nabi SAW yang berisi perintah dan larangan beliau. Kedua, sunah fi’liyah, yakni perbuatan Nabi SAW terkait praktik ibadah seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan lainnya.
Ketiga, sunah taqririyah, yakni sikap Nabi SAW yang dapat dimaknai sebagai persetujuan beliau terhadap yang dilakukan para sahabat. Misalnya seperti dalam hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim yang menceritakan diamnya Nabi SAW ketika menyaksikan Khalid bin Walid memakan biawak. Diamnya Nabi SAW adalah persetujuan beliau.
Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan satu sunah dari sunah-sunahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah). Dapat disimpulkan, inilah pahala rindu kepada Nabi SAW.
Dalam sejarah, Abdullah yang dijuluki Dzil Bijadain adalah sorang yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Madinah. Rindunya tertambat kepada Nabi SAW. Namun keluarganya menghalang-halanginya untuk bertemu dengan Nabi SAW. Setelah melakukan aksi mogok makan, akhirnya ia diizinkan oleh ibunya bertemu Rasulullah SAW.
Untuk mengetahui kedalaman rindu seseorang kepada Nabi SAW, terukur dari seberapa sering shalawat atas Nabi SAW dipanjatkan dalam hembusan nafasnya. Karena bershalawat adalah bukti cinta, sedangkan buah cinta adalah rindu. Rindu baru ada setelah ada cinta. Tanpa cinta bukan rindu namanya, tapi nafsu.
Sebagai buah cinta, rindu kepada Allah SWT dapat diartikan dengan bertakwa. Yakni menjalankan dengan sabar dan ikhlas segala yang diperintahkan dan meninggalkan dengan sabar dan ikhlas segala yang dilarang. Artinya, bagi orang yang bertakwa, ada rindu pada apa yang Allah SWT perintahkan dan ada rindu juga pada apa yang Allah SWT larang.
Bagi para perindu, berjumpa dengan Allah SWT adalah anugerah tertinggi melebihi surga yang dijanjikan. Lalu ada kabar gembira bagi hamba yang kelak ingin berjumpa dengan Allah SWT, seperti yang Nabi SAW sabdakan, “Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah, Allah pun ingin berjumpa dengan dia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah pahala memendam rindu.
Tak hanya itu, Allah SWT bahkan mempertegas, “Barangsiapa yang rindu hendak bertemu dengan Allah, maka sesungguhnya janji Allah itu bakal tiba.” (QS. al-Ankabut/29: 5 ). Bagi seorang perindu, hari-harinya indah dan penuh semangat. Malamnya seperti malam takbiran, sedangkan paginya seperti Hari Raya Idul Fitri. Karena itu, mari memendam rindu.