REPUBLIKA.CO.ID, Pemahaman Islam di AS, melihat komposisi penganutnya yang beragam dan datang dari berbagai negeri, jadi sangat beraneka. Tidak hanya dari segi etnik, tapi juga mazhab yang dianut. Hanya saja, yang jelas, kebanyakan mereka penganut Sunni. Ada pula yang beraliran Syiah dalam jumlah kecil.
Masih ada ''aliran'' lain, yaitu yang dianut anggota Nation of Islam yang kini dipimpin Louis Farrakhan. ''Ajaran mereka memang lain,'' kata Boggs. ''Elijah Muhammad (pendahulu dan guru Farrakhan serta Malcolm X) mengaku dirinya Rasul (Messenger),'' ujar Fleichbein.
Dan begitulah yang tertulis dalam cover buku Elijah: ''Message of Elijah Muhammad, Messenger of Allah''. ''Ketika saya membaca buku yang ditulis Malcolm X (sebelum haji - Red), saya sering mengucap astaghfirullah, astaghfirullah,'' tambah Fleichbein yang dibenarkan oleh teman-temannya.
Tidak diketahui, kapan Islam pertama kali masuk ke AS dan bagian Amerika Utara lainnya. Tapi para ahli yakin, Islam sebenarnya sudah ada di AS bersama datangnya (baca: perdagangan) gelombang hamba sahaya dari Afrika, yang di antaranya beragama Islam, sebelum Columbus. Mereka ini, konon, mengamalkan agama mereka secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, pernah mengalami masa pemudaran.
Maklum, tidak ada pembinaan terhadap keislaman mereka, sementara satu sama lain hampir tidak pernah melakukan kontak, apalagi membentuk suatu perkumpulan. Baru pada awal abad ini (1913) mereka membentuk suatu organisasi, yang dinamakan Moorish Science Temple (pendirinya, Nobel Drew Ali, mengklaim kaumnya sebagai orang-orang Asia dan Moro), di Newark, New Jersey. Lebih satu dasa warsa kemudian lahir Nation of Islam, yang kini dipimpin oleh Louis Farrakhan.
Kemudian, pada akhir abad lalu (1880-1888) mengalir gelombang imigran Muslim dari Timur Tengah. Banyak dari mereka berasal dari Libanon dan tinggal di Cedar Rapids, Iowa. ''Kedatangan mereka sebenarnya bukan untuk menetap, tapi sekadar mencari penghidupan yang lebih baik, untuk kemudian kembali lagi ke negara asal mereka,'' jelas Imam Tawil Taha, yang saat itu menjabat sebagai direktur Islamic Council of Iowa. Kenyataannya, banyak dari mereka yang kembali bukan karena merasa telah berhasil, tapi karena gagal.
Sementara, mereka yang sukses justru enggan kembali dan memutuskan menetap di negeri baru mereka. Pada akhirnya, komunitas Muslim di Cedar Rapids ini memainkan peranan cukup penting dalam perkembangan Islam di Amerika Utara.
Merekalah yang pertama kali mendatangkan ulama dari Timur Tengah untuk menjadi Imam (pemimpin agama) mereka. Dari situlah kemudian lahirnya federasi, Federasi Asosiasi-asosiasi Islam di AS dan Kanada, yang menghimpun organisasi-organisasi Islam di seluruh Amerika Utara.
Pada mulanya para imigran itu tak berani memperlihatkan keislaman mereka. Menurut Imam Taha, itu terjadi hingga tahun 50-an. Jangankan mempermaklumkan agama mereka kepada orang lain, menyebut nama mereka sebenarnya yang berbau Islam saja tak berani. Sebab, saat itu sentimen anti Islam di AS, termasuk di Cedar Rapids, cukup tinggi. Jadi, ''Yang namanya Muhammad, misalnya, mengaku bernama Mo, sedang Fatima memperkenalkan diri dengan nama Tima,'' tutur Imam Taha.
Menginjak tahun 60-an keadaan berangsur-angsur membaik. Masyarakat AS tahap demi tahap mulai menerima kehadiran Muslim. Islam tidak lagi dianggap sebagai agama kaum imigran atau agama impor. Dalam peta kota Washington DC., misalnya, terdapat noktah lokasi Islamic Center, sementara hal yang sama tidak didapati di peta kota New York dan San Fransisco.
Keinginan untuk lebih memahami Islam dan berhubungan dengan pemeluknya semakin tumbuh di kalangan tokoh-tokoh agama lainnya, terutama Kristen dan Yahudi. Hal ini, tulis Byron L. Haines, mantan direktur Kantor Urusan Hubungan Kristen-Muslim pada Dewan Nasional Gereja-gereja, dipicu oleh Revolusi Islam Iran pada 1979 dan, terutama, Perang Teluk 1991. Hal ini diakui pula oleh Imam Taha. ''Perang Teluk telah membawa hikmah kepada kami. Sejak saat itu, pengertian terhadap Islam semakin tumbuh,'' ujarnya.
Maka pada tahun-tahun terakhir ini tokoh-tokoh Muslim duduk bersama dalam wadah dialog antariman (interfaith), yang dulunya hanya melibatkan tokoh-tokoh Katolik, Protestan dan Yahudi. Nama ''Dewan Nasional Protestan, Katolik dan Yahudi'' diganti menjadi ''Dewan Nasional'' setelah masuknya tokoh-tokoh Muslim dalam wadah ini.
Imam Taha, misalnya, tahun lalu terpilih sebagai wakil ketua ''Inter-Religious Council of Linn County'' di Iowa. Pendeknya, kaum Muslim bersama-sama terlibat dalam diskusi mengenai masalah-masalah teologis dan dalam aksi-aksi sosial.
Mereka juga kini sering mengadakan diskusi mengenai isu-isu moralitas, seperti soal perjudian dan seks di luar nikah. Sebuah masjid di Los Angeles, misalnya, pernah menggelar simposium mengenai moralitas seks bersama kaum Katolik setempat. Tokoh-tokoh Muslim pun sering mengajak tokoh-tokoh Kristen dalam isu-isu luar negeri seperti Timur Tengah dan Bosnia. Sementara Asosiasi Islam di Dallas dan Komunitas Gereja Dallas Raya mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengutuk pemboman di Oklahoma.
Bagaimanapun, Muslim AS masih harus berjuang keras untuk mengikis salah pengertian mengenai Islam kepada warga AS pada umumnya. Warga AS umumnya masih memiliki stereotape yang salah mengenai Islam. Media massa dan film-film memiliki andil dalam hal ini. ''Islam yang digambarkan media massa di sini negatif sekali,'' tutur Ahmad.
Islam jadi terkait selalu dengan kekerasan dan terorisme. Islam senantiasa digambarkan sebagai agama yang kejam karena mengajarkan ''hukum potong tangan dan sebagainya''. Ahmad pun sering menerima pertanyaan mengenai ini dari orang AS dan orang-orang Barat lainnya yang datang ke tempatnya. ''Tujuan kami di sini (Islamic Center, Red) adalah menjelaskan apa itu Islam yang sebenarnya, menjernihkan segala kesalah-pahaman dan salah persepsi mengenai Islam,'' tutur Ahmad.