REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Seorang mantan kepala rabi Yahudi di Inggris mengecam keras perlakuan China yang menindas Muslim Uighur di Xinjiang. Dalam pernyataannya pada Rabu (22/7), ia menyebut penganiayaan China itu sebagai sebuah kebiadaban moral, skandal politik, dan penodaan agama itu sendiri.
Etnis Uighur merupakan kelompok minoritas Muslim asli di daerah otonomi Xinjiang di barat laut China. Mereka ditahan di kamp-kamp yang disebut kamp 'pendidikan ulang' dalam beberapa bulan terakhir. Selain deportasi ke kamp, warga Uighur juga mengalami tekanan psikologis dan kondisi yang tidak sehat, yang dimaksudkan memaksa mereka mematuhi aturan Partai Komunis yang berkuasa.
"Sebagai manusia yang percaya pada kesucian hidup manusia, saya sangat gelisah dengan apa yang terjadi pada populasi Muslim Uighur di China," tulis Rabbi Lord Jonathan Sacks dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Twitter, dilansir di The Algemeiner, Kamis (23/7).
"Bahwa orang-orang di abad ke-21 yang sedang dibunuh, diteror, dijadikan korban, diintimidasi, dan dirampok kebebasan mereka karena cara mereka menyembah Tuhan adalah kebiadaban moral, skandal politik, dan penodaan agama itu sendiri," ujarnya.
(1/7) As a human being who believes in the sanctity of human life, I am deeply troubled by what is happening to the Uighur Muslim population in China.
— Rabbi Sacks (@rabbisacks) July 22, 2020
Ia melanjutkan, sebagai seorang Yahudi yang juga mengetahui sejarah mereka, pemandangan dari orang-orang yang kepalanya digunduli, berbaris, naik kereta, dan dikirim ke kamp konsentrasi sangat mengerikan. Sacks lantas mengatakan, pelaksanaan dari Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB di seluruh dunia tetap menjadi salah satu tantangan besar di zaman ini. Pasal tersebut memuat hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama.
Menurutnya, hak ini begitu kerap hilang ketika satu kelompok dalam suatu masyarakat, biasanya kelompok dominan, melihat kelompok lain sebagai ancaman terhadap kebebasan dan dominasinya sendiri. Hak itu juga kerap hilang ketika ada pergulatan antara keinginan berkuasa dan keinginan hidup.
"Ancaman menjadi ketakutan, ketakutan menjadi kebencian, dan kebencian menjadi dehumanisasi. Nazi menyebut orang-orang Yahudi sebagai kutu dan orang hina. Orang-orang Hutu dari Rwanda disebut tutsis inyenzi atau kecoak. Ketika dunia mengizinkan dehumanisasi dari yang lain, kejahatan mengikuti, seperti malam mengikuti siang," ujarnya.
Sementara saat ini, hal itu menurutnya terjadi pada populasi Uighur di China. Rabi ini menyerukan penindasan atas Muslim Uighur harus dilawan oleh komunitas global dengan ketentuan yang sekuat mungkin.
Komunitas Yahudi Inggris telah menunjukkan keterlibatannya dalam kampanye atas nama Uighur. Pada Januari lalu, Dewan Perwakilan Yahudi Inggris bekerja sama dengan World Uyghur Congress untuk menyelenggarakan sebuah acara di House of Commons di London yang menyoroti situasi Uighur.
Wakil Dewan Perwakilan Yahudi Inggris, Edwin Shuker, mengatakan di acara tersebut bahwa apa yang paling menyakitkan korban bukanlah kekejaman dari sang penindas, melainkan keheningan dari para penontonnya. Menurutnya, kebisuan mereka itu tidak dapat dipahami.
"Di pekan ini ketika kita memperingati Hari Peringatan Holocaust, kita juga mengabdikan diri kita untuk membantu orang-orang yang menghadapi penindasan dan penganiayaan seperti orang-orang Uighur. Kami berdiri bersama mereka dalam perjuangan mereka untuk hak asasi manusia dan kami akan melakukan apa pun yang kami bisa untuk membantu," kata Shuker kala itu.
Seorang aktivis Muslim Inggris yang baru-baru ini melakukan mogok makan untuk menarik perhatian atas orang-orang Uighur, Maajid Nawaz, mengatakan pada Sabtu lalu saudara-saudara Yahudi adalah satu-satunya saudara yang tidak akan diteriakinya.
"Mereka sudah melangkah dan ada di sini bersama saya sekarang," katanya.